Liputan6.com, Bogor - Siti Sobariah hidup menderita setelah ditinggal suaminya, Suminta, yang bergabung dengan Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Probolinggo, Jawa Timur.
Warga Kampung Cilubang, Kelurahan Balumbang Jaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, ini pun mengandalkan saudaranya. Sebab, selama empat bulan ia tak mendapat nafkah dari suaminya.
Baca Juga
Tak hanya itu, kedua anak Siti yang masih duduk di bangku kelas tiga SMP dan kelas lima SD terpaksa putus sekolah. Pasalnya, Siti tak mampu membiayai sekolah mereka.
Advertisement
"Karena enggak ada biaya, ya berhenti saja sekolahnya," kata Siti di Bogor, Senin (10/10/2016).
Suminta sudah tidak pulang sejak empat bulan lalu. Dia meninggalkan Siti dan empat anaknya setelah menjadi pengikut dan tinggal di Padepokan Dimas Kanjeng.
"Dia ikut padepokan sudah lama, lebih dari setahun. Biasanya kalau ke sana cuma seminggu terus pulang lagi. Cuma sudah empat bulan terakhir ini enggak pulang," kata perempuan 36 tahun itu.
Karena tak kunjung pulang, pada 13 Agustus 2016, pihak keluarga sempat mendatangi Padepokan Dimas Kanjeng dan mengajak Suminta pulang, mengingat saat itu Siti sedang hamil tua.
Namun, Suminta yang bekerja sebagai sopir pribadi itu menolak dengan alasan menunggu janji uang yang berlipat ganda dari Taat Pribadi.
"Bapak sama saudara yang lain ke sana, niatnya ngajak pulang, tapi dia enggak mau. Bilangnya nunggu pencairan dari Kanjeng Dimas dulu," terang Siti.
Hingga Siti melahirkan anak keempat, Suminta tak kunjung pulang. Selain harus menanggung seluruh biaya persalinan sendiri, Siti juga harus memenuhi kebutuhan sehari-hari keempat anaknya itu.
"Makan segala macam mengandalkan keluarga. Boro-boro dia ngasih buat anak istri, buat dia sendiri di sana juga susah," keluh dia.
Sudah lebih dari setahun Suminta jadi pengikut Padepokan Dimas Kanjeng. Bahkan, hampir setiap satu bulan sekali Suminta pergi ke padepokan tersebut.
"Waktu awal-awal dia memang cerita jika ikut padepokan itu," ucap Siti.
Saat itu, Siti tidak menyetujui suaminya ikut bergabung padepokan karena harus mengeluarkan uang banyak hanya untuk membeli mahar. Selain itu, sering mengabaikan kepentingan keluarga.
"Uang habis enggak jelas. Di situ jadi sering ribut," kata Siti.
Barang Palsu
Saking kesalnya, Siti menjual batu cincin, jam Rolex, dan sejumlah uang ringgit Malaysia dan dolar Singapura. Barang-barang tersebut merupakan mahar dari pedepokan tersebut.
"Sebelum dijual, perhiasan itu sempet saya cek, ternyata palsu. Tapi masih laku juga dijual," kata dia.
Sementara, Cyarman, orangtua Suminta, sejak anaknya bergabung Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, mengaku harta bendanya habis terkuras.
Bahkan, diam-diam Suminta memakai uang perusahaan di tempatnya bekerja hanya untuk membeli mahar dan menggandakan uang itu.
"Oleh perusahaannya ketahuan, akhirnya sertifikat tanah diambil perusahaan, dijadiin buat jaminan. Kalau dihitung-hitung ada puluhan juta," kata kakek 76 tahun itu.
Cyarman mengaku sering mengingatkan beberapa kali kepada Suminta, agar tidak mempercayai aliran tersebut. Apalagi sudah jelas, sejak anaknya bergabung, kehidupan rumah tangganya berantakan.
"Sering ribut, anak istri ditelantari. Sampai istrinya lahir pun dia tidak pulang," ungkap dia.
Meskipun pemilik Padepokan Kanjeng Dimas Taat Pribadi sudah ditangkap polisi akibat kasus penipuan dan pembunuhan, Suminta tetap bersikeras memilih tinggal di padepokan itu.
"Rencananya saya sama dari pihak kelurahan akan jemput dia pulang," pungkas Cyarman.