Liputan6.com, Jakarta Kejujuran itu aspek penting di dalam hidup kaum terpelajar, yang bergulat di dalam dunia ilmu, untuk mencari kebenaran.
Kaum terpelajar dicintai Allah Yang Maha Kuasa karena keterpelajarannya. Mereka, di dalam tradisi Minangkabau, dihormati, dengan ungkapan ”selangkah didahulukan, seranting ditinggikan”. Mereka juga sangat dihormati, sebagaimana dunia Minangkabau menghormati orang kaya.
Maka, tahulah kita bila dari masyarakat tersebut lahir ungkapan: ”orang kaya tempat meminta, orang pandai tempat bertanya”. Orang pandai, kaum terpelajar, yang bergulat di dunia ilmu pengetahuan itu luas. Ada peneliti di bidang ilmu-ilmu sosial, ada dokter, dan jenis penelitian di bidang kesehatan dan penyakit, dan ada pula para perumus kebijakan publik, di berbagai bidang, termasuk di bidang kesehatan orang per orang, maupun di bidang kesehatan masyarakat.
Advertisement
Di bidang yang terakhir ini hubungannya dengan dunia kedokteran dekat sekali meski mereka memiliki sendiri kaidah- kaidah keilmuan, yang sangat dipengaruhi ilmu sosial. Di sini ada satu hukum dasar yang menyangkut bukan saja dunia ilmu, melainkan juga dunia rohani, yang kedua-duanya memiliki hubungan hangat, dan bersifat langsung, dengan Allah Yang Maha Mengetahui atas Segala Sesuatu.
Hubungan itu terumus di dalam etika keilmuan dan bisa juga dalam etika profesi, di mana mereka tidak boleh berbohong. Kebenaran itu milik Allah Yang Maha Benar, jadi jelas tak bisa dikorup. Di sini jelas kebenaran tersebut tak bisa disulap menjadi keputusan politik. Kebenaran, tentang apa saja, berada di dalam domain Allah Yang Maha Benar tadi dan merupakan keputusan yang ada di tangan-Nya.
Para ilmuwan, di bidang keilmuan apa pun, dengan begitu tidak boleh bohong meski mereka diampuni kalau usahanya mencari kebenaran itu salah. Pendeknya, mereka itu manusia yang boleh salah, tapi tidak boleh bohong. Seorang ilmuwan misalnya di bidang kedokteran, yang juga duduk di dalam suatu jabatan yang memegang kebijakan publik, sikapnya sebagai ilmuwan dan sebagai perumus kebijakan tidak boleh benturan satu sama lain.
Tokoh dunia ilmu ini tidak boleh mengalami konflik nilai ketika posisinya sebagai perumus kebijakan publik tidak memperoleh dukungan ilmiah dari dunianya yang lain yaitu sebagai ilmuwan tadi. Sebagai pengamal ilmu, dia harus mampu merumuskan ilmu yang bersifat amaliah, dan segenap amalnya harus pula dapat dipertanggungjawabkan dari segi keilmuan, menjadi amal ilmiah.
Jika disini terjadi benturan, dan yang bersangkutan mengorbankan yang satu demi membela yang lain, dia menerabas keagungan dunia ilmu. Lebih khusus, dia mengabaikan kebenaran. Di sini dengan begitu berat dia mengabaikan Allah Yang Maha Mengatur segalanya di dalam bentangan alam semesta, di atas bumi di bawah langit.
Tak diragukan, bukan hanya di bawah langit bumi yang tampak dari sini, melainkan di bawah langit, langit, dan langit lain, yang bertingkat- tingkat, yang kita kenal dalam ungkapan: di atas langit masih ada langit, dan di atasnya yang atas itu masih ada yang lebih atas lagi. Begitu kebenaran terbentang, dan di bawah kontrol sang pemilik langit dan bumi, yang tak bisa dibohongi, karena Dia tak pernah mengantuk, tak pernah tidur, dan tak pernah lalai barang sedetik pun.
Dengan begitu, menjadi jelas, sejelas jelasnya, bahwa seorang hamba, seorang ilmuwan, seorang perumus kebijakan publik, seorang beriman, hendaknya tampil di dalam suatu sosok pribadi yang utuh, yang tak pernah terbelah, dan tak boleh sengaja membuat dirinya tampil menjadi kepingan-kepingan yang terpisah satu dari yang lain.
Posisi ilmuwan, pejabat perumus kebijakan publik, dan hamba yang beriman, hakikatnya satu, dan di depan Allah Yang Maha Tinggi, dia rendah, di hadapan Allah Yang Maha Memerintah, dia tunduk, patuh dan taat, tanpa syarat apa pun. Di hadapan Allah Yang Maha Benar, dia harus benar.
Di hadapan Allah Yang Maha Jujur, dia pun harus jujur sejujur-jujurnya. Ketika kebijakan di bidang kesehatan dirumuskan, apakah dasarnya? Kebenaran. Tak boleh lain dari kebenaran. Ketika kebijakan di bidang kesehatan berhadapan dengan keretek, sudah dijelaskan, merokok mengganggu ini dan itu, yang dulu telah akrab dengan kita.
Adakah rumusan itu disusun di atas sebuah landasan kebenaran yang sahih, kuat, dan tak terbantah, biarlah kejujuran ilmiah di bidang kedokteran menerangkan dengan landasan kejujuran.
Mereka tak boleh bohong. Bila mereka nekat memperlakukan kebenaran ilmiah menjadi suatu kebijakan politik yang tak berdasar pada kebenaran, merekalah yang akan menghadapi pengadilan dunia ilmu, sekarang, dan di dunia ini, dan pengadilan yang di sini disebut ”rohaniah”, pengadilan orang beriman, di hari ketika kebenaran tak bisa lagi disembunyikan.
Beranikah mereka bertanggung jawab di bidang ini? Lupakan mereka bahwa ketika diangkat menjadi pejabat, mereka bersumpah tak bakal mengkhianati kebenaran, yang berarti tak mengkhianati Allah Yang Maha Benar? Kita tahu ini bukan hanya urusan para dokter dan para perumus kebijakan publik di bidang kesehatan itu sendiri.
Kita wajib menjadikannya urusan kita karena kalau mereka tak dikontrol, kita khawatir diam-diam mereka akan mencopet posisi Allah Yang Maha Tinggi, dan orang-orang yang maha rendah ini akan menjadi Allah itu sendiri untuk berbuat semaunya di dalam bidang kesehatan, semaunya memperlakukan petani tembakau, semaunya memojokkan tembakau, tanpa empati tanpa pertimbangan bahwa tembakau itu produk bangsa kita sendiri dan bahwa petani tembakau itu warga negara yang memiliki hak untuk dilindungi dan pekerjaannya sebagai petani dihormati agar mereka memperoleh kelayakan hidup di buminya sendiri.
Apakah sebabnya, sesudah kebijakan kesehatan mewajibkan produk olahan tembakau diputuskan tak boleh beriklan, harus menuliskan bahwa merokok mengganggu ini dan itu, yang sudah ditaati, cukai dinaikkan secara gila-gilaan, yang mengesankan kebijakan ini lebih mengatur kematian daripada mengatur kehidupan, mengapa gambar mengerikan harus dicantumkan dengan paksa di bungkus keretek?
Kebenaran apa yang dijadikan ladasan memutuskan kebijakan ini? Beranikah mereka membuat suatu kebijakan tanpa basis kebenaran yang mendukungnya? Beranikah mereka bertanggung jawab di hari ketika kebenaran tak lagi bisa digelapkan di pasaran politik kebijakan?
Ketika kita tahu, gerakan antitembakau itu pada dasarnya gerakan perang dagang, dan FCTC menjadi instrumen yang kelihatannya amat luhur, dan ditelan mentah oleh perumus kebijakan kita di bidang kesehatan, maka kepada siapakah sebenarnya para perumus kebijakan dan jaringan pendukungnya, berpihak?
Ketika kemudian tanpa ba tanpa bu , peringatan ”merokok membunuhmu” harus dicantumkan di tiap-tiap bungkus keretek, dan kebijakan itu telah dituruti dengan penuh kepatuhan, apakah landasannya? Apakah fenomena yang hanya mengganggu ini dan itu, yang dulu dijadikan kebenaran, sekarang secara drastis dan mencolok, telah berubah, dan menjadi ”merokok membunuhmu?”.
Di sini, sebagai warga negara, sebagai peneliti ilmu sosial, dan sebagai penulis, saya memprotes keras kelakuan politik seperti itu. Protes saya terumus secara politik, menjadi bahasa ideologi, dan bahasa perlawanan: ”merokok tidak membunuhmu”. Kalau tak percaya, merokoklah, dan merokoklah.
(Adv)