Sukses

Lindungi Haki, DPR Sahkan RUU Merek dan Indikasi Geografis

Rapat Paripurna DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Merek dan Indikasi Geografis menjadi Undang-Undang.

Liputan6.com, Jakarta Rapat Paripurna DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Merek dan Indikasi Geografis menjadi Undang-Undang. Persetujuan ini disepakati dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR Agus Hermanto di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (27/10).

Dalam pemaparannya, Ketua Panitia Khusus (Pansus) Desy Ratnasari optimis dengan disahkannya RUU Merek dan Indikasi Geografis mampu memberikan payung hukum atas Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), khususnya dalam menghadapi pasar bebas dan Masayarakat Ekonomi Asean (MEA).

“Dengan kuatnya arus globalisasi di segala bidang termasuk sektor barang perdagangan barang dan jasa tanpa mengenal batas wilayah, maka diharapkan regulasi yang melindungi HAKI maupun merek harus mampu mengikuti perkembangan yang ada,” ungkap Desy.

Secara garis besar, lanjut Desy, fokus utama pembahasan RUU Merek yaitu untuk memperkuat indikasi geografis di setiap daerah. Menurutnya, aturan terdahulu yaitu UU Nomor 15 Tahun 2001 sudah mengakomodir indikasi geografis. Namun, substansi indikasi geografis dalam UU tersebut dinilai belum sepenuhnya memberikan kepastian hukum kepada masyarakat luas.

“Selain itu, meluasnya arus globalisasi dalam sektor barang dan jasa international juga menuntut adanya perlindungan merek bagi produk nasional di negara tujuan ekspor. Dimana RUU Merek yang memuat Protocol Madrid akan mempermudah sarana pelaku usaha nasional untuk mendaftarkan merek di luar negeri dengan biaya yang terjangkau,” tandas Desy

Lebih lanjut, politisi dari Fraksi PAN itu mengatakan pengesahan RUU Merek dan Indikasi Geografis merupakan bentuk perwujudan konsekuensi Indonesia yang secara resmi telah menjadi anggota organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO).

Diharapakan dengan pengesahan RUU itu mampu menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dan menambah pendapatan negara dari sektor penerimaan negara bukan pajak yang selama ini masih didominasi oleh pendapatan hasil sumber daya alam.

(*)