Sukses

Abdullah Hehamahua: KPK Jangan Trauma Ungkap Kasus Jaksa Nakal

KPK harus menjawab keraguan tersebut dengan mengembangkan perkara korupsi yang diduga melibatkan pejabat di Kejaksaan.

Liputan6.com, Jakarta Mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua menilai KPK saat ini kurang mengembangkan kasus-kasus korupsi yang diduga melibatkan pejabat di Kejaksaan. Dia pun meminta pengawas internal (PI) ikut berperan mendorong penyidik agar lebih profesional.

"Saya setuju dengan teman-teman ICW (Indonesia Corruption Watch) bahwa KPK tidak boleh tebang pilih. KPK juga jangan trauma," ujar Abdullah di Jakarta, Kamis (27/10/2016). 

Kondisi tersebut menurutnya membuat publik ragu dengan komitmen KPK memberantas korupsi tanpa tebang pilih. 

Karena itu, ia meminta agar KPK segera menjawab keraguan tersebut dengan mengembangkan perkara korupsi yang diduga melibatkan pejabat di Kejaksaan.

Abdullah menyebut ada dua cara untuk menjawab keraguan itu. Pertama, KPK harus melakukan koordinasi dan supervisi (korsub) dengan Kejaksaan Agung (Kejagung). 

"Tujuannya agar ada jalan keluar apakah kasus yang melibatkan petinggi kejaksaan itu tetap ditangani Kejagung tapi tetap dikorsub KPK," kata Abdullah.

Selama ini menurut dia, Kejagung hanya sekedar melakukan pemeriksaan interna bila terdapat indikasi pelanggaran terkait korupsi yang terjadi kepada jajarannya. Hasilnya, mereka menyebut tak ada pelanggaran yang dilakukan.

Saran kedua, kasus-kasus tersebut tetap ditangani KPK namun dengan melibatkan pengawas internal. "Pengawas internal harus mendorong penyidik untuk lebih profesional menangani perkara yang diduga melibatkan pejabat kejaksaan,'' kata dia. 

Sebagaimana diketahui, saat ini ada dua perkara korupsi di KPK yang diduga melibatkan pejabat di Kejaksaan. Perkara itu ialah dugaan pemberian suap oleh Gatot Pujo Nugroho terhadap Maruli Hutagalung. Nama itu dulu menjabat Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus di Kejagung, kini Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim. Uang dari Gatot itu diberikan lewat pengacara O.C Kaligis.

KPK selama ini beralasan bukti sulit didapat karena Kaligis mengelak. Alasan itu sulit diterima karena selama ini KPK termasuk canggih dalam mencari alat bukti lain di luar keterangan saksi atau tersangka.

Selain kasus yang diduga melibatkan Maruli, KPK juga tengah disorot terkait kasus suap PT Brantas Abipraya. KAsus itu bermula saat dua pejabat PT Brantas Abipraya tertangkap operasi KPK ketika hendak menyuap Kejati DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Tomo Sitepu.