Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut dugaan korupsi proyek E-KTP pada 2011-2012 sebagai salah satu kasus besar yang tengah ditanganinya. Sudah ada dua tersangka dalam kasus tersebut. Untuk menelusuri kembali kasus ini, KPK juga telah memeriksa sejumlah saksi.
"Sampai sekarang sudah 110 yang kita panggil," kata Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan, di Jakarta, R‎abu (16/11/2016).
Baca Juga
Dia juga tak membantah kasus E-KTP ini rumit. Selain karena sudah lama, sejumlah saksi sudah purna tugas.
Advertisement
"Agak pelik memang ini kasus. Disamping sudah lama, orang-orangnya sudah pensiun," kata Basaria.
Dia mengatakan penyidik harus bekerja keras dalam mengusut tuntas kasus ini. Sebab, dia menggarisbawahi, kasus ini tak cuma melibatkan dua tersangka eks Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri, Irman, dan pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek E-KTP, Sugiharto.
"Kasus ini diperlukan keuletan dari penyidik. Kita juga yakin tidak hanya setingkat Dirjen dan PPK saja yang menikmati (hasil korupsi) ini," ujar purnawirawan jenderal bintang tiga polisi tersebut.
Namun, KPK butuh menemukan alat dua bukti yang cukup untuk menjerat pihak lain. Oleh karena itu, dia meminta seluruh pihak bersabar menunggu akhir pengusutan kasus ini.
"Sabar dulu karena harus benar-benar teliti satu per satu, ke mana arahnya untuk tindakan hukum," kata Basaria.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan dua orang tersangka pada kasus dugaan korupsi proyek E-KTP pada 2011-2012 di Kemendagri. Keduanya, yakni bekas Dirjen Dukcapil Kemendagri, Irman, dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri, Sugiharto.
Irman dan Sugiharto dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Baik Irman maupun Sugiharto, dalam sengkarut proyek senilai Rp 5,8 triliun itu diduga telah menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara sampai Rp 2,3 triliun.