Liputan6.com, Kutai Timur - Sistem pemilihan umum yang ada saat ini menurut Wakil Ketua MPRÂ Mahyudin sudah tak layak pakai. Sebab, undang-undang tentang pemilu malah menghasilkan para pemimpin yang banyak bermasalah dengan hukum.
Pernyataan itu disampaikan Mahyudin di hadapan ratusan warga yang menghadiri acara Empat Pilar Kebangsaan yang diselenggarakan bersama Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kecamatan Teluk Pandan, Kutai Timur, Kalimantan Timur.
"Kalau kita mau jujur, kita memilih pemimpin nggak bagus caranya. Kalau semua rakyat kita sudah S2, pintar semua, semua kaya-kaya ya nggak apa-apa pemilihan pemimpin terbuka dan dipilih dengan suara terbanyak," ujar Mahyudin di gedung Serbaguna Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan, Jumat (18/11/2016) pagi.
Advertisement
Ia mengatakan, dengan sistem pemilu yang memenangkan orang yang mendapat suara terbanyak, bakal membuat tokoh-tokoh yang berkompeten tapi tak populer akan kalah.
"Ya wajar, kalau pemimpin sekarang banyak yang korupsi, sebab waktu kampanye mereka 'berjuang' habis-habisan. Berjuang itu beras, baju dan uang," kata Mahyudin menjelaskan akronim yang ia maksud.
Dan kebetulan, saat ini MPR tengah mengkaji UU Pemilu. Karena, produk dari pemilu hanya menghasilkan pemimpin yang tak cakap dan sering tersandung kasus korupsi.
"Banyak bupati ditangkap polisi, banyak gubernur masuk penjara karena mereka korupsi. Memang mereka tak punya niat maling, tapi undang-undang yang ada membuka kesempatan untuk itu," jelas Mahyudin.
Yang Penting Populer
Undang-Undang Pemilu sekarang, menurut mantan Bupati Kutai Timur ini membuka celah yang sangat besar untuk lahirnya pemimpin abal-abal.
"Yang dipilih ya orang yang populer, ya wajar kalau artis dan bintang dangdut koplo bisa jadi anggota dewan, bisa jadi bupati, atau apa pun," terang Mahyudin.
"Karena partai politik mau menang, maka direkrut orang-orang yang populer, bukan yang berkompeten," imbuh dia.
Solusinya, menurut Mahyudin sistem pemilihan umum di Indonesia bisa memakai sistem kombinasi, yakni sistem terbuka dan tertutup. Bukan terbuka dan langsung seperti saat ini.
"Karena itu banyak yang melakukan kajian-kajian soal pemilu, agar kualitas pemilu tetap terjaga, dan pemimpin atau pun wakil rakyat kita tak tercela," pungkas Mahyudin.