Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan petani Rembang dan LSM Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi), terkait izin lingkungan pembangunan pabrik PT Semen Indonesia di Rembang.
Keputusan itu membuat izin lingkungan yang diterbitkan Gubernur Jawa Tengah untuk PT Semen Indonesia harus dibatalkan. Kendati demikian, putusan tersebut dianggap tidak mempengaruhi pembangunan pabrik semen dan kegiatan operasionalnya.
Pakar hukum tata negara Jimly Asshidiqie menilai, amar putusan tersebut harus dilihat dan diteliti sisi apa yang menjadi obyek perkaranya.
Advertisement
Menurut Jimly, bila obyek perkaranya adalah gugatan izin lingkungan, maka hanya surat izin tersebut yang harus segera dicabut kembali.
"Bukan mencakup penghentian izin seluruhnya," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Jumat, 18 November 2016.
Mengenai apakah Surat Keputusan (SK) juga memerintahkan penghentian aktivitas pabrik Semen Rembang atau justru tidak sama sekali. Jimly berpendapat, semua itu tergantung kepada isi materi SK pencabutan izin lingkungan.
"Tergantung SK pencabutannya. Tapi biasanya ada masa transisi. Obyek Tata Usaha Negara (TUN) adalah keputusan administrasi saja, bukan menggugat juga aktivitas bisnis industri pabrik," ucap Jimly.
Peninjauan Kembali (PK).
Gugatan Warga Rembang
Berdasarkan situs resmi MA, gugatan tersebut diputus pada tanggal 5 Oktober 2016 lalu. Amar putusan mengabulkan gugatan dan membatalkan obyek sengketa.
Obyek sengketa yang dimaksud ialah izin lingkungan kegiatan penambangan dan pembangunan pabrik semen milik PT Semen Indonesia di pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang, tertanggal 7 Juni 2012.
Sengketa antara warga Rembang, Jawa Tengah dengan PT Semen Indonesia dimulai sejak 16 Juni 2014 lalu. Saat itu PT Semen Indonesia mulai meletakkan batu pertama pembangunan pabrik. Para petani menolak keras pembangunan pabrik semen di wilayah Rembang karena memiliki efek yang merugikan.
"Konflik ini sudah lama berlangsung, sejak peletakan batu pertama diletakkan pada tahun 2014, kami dan teman-teman mulai mendirikan tenda di depan pintu masuk pabrik," ujar warga Rembang, Joko saat sedang melakukan aksi di depan Istana Merdeka, Rabu, 13 April 2016.
Dalam aksi itu, sembilan perempuan petani Rembang melakukan aksi mengecor kaki di depan Istana. Kesembilan perempuan itu adalah Supini, Surani, Rieb Ambarwati, Deni, Ngadinah, Sukinah, Karsupi, Murtini dan Surani. Lewat upaya itu, para petani diterima oleh pihak istana untuk menyampaikan persoalan yang mereka hadapi.