Liputan6.com, Jakarta - Sebanyak 200 ribu berkas perkara di Kejaksaan tidak jelas status hukumnya alias mangkrak. Demikian temuan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MAPPI FHUI).
"Temuan ini muncul setelah mencocokkan antara jumlah berkas perkara pidana umum yang dikirimkan oleh kepolisian dengan berkas pidana umum yang diterima kejaksaan," kata Direktur Eksekutif MaPPI FHUI Choky Ramadhan di Jakarta, Minggu 20 November 2016 malam.
Penyebabnya, kata dia, kurangnya koordinasi yang baik antara kepolisian dengan kejaksaan dalam penanganan suatu perkara. Imbasnya adalah berlarut-larutnya proses hukum yang terjadi, berpotensi terlanggarnya hak kepastian hukum baik dari korban maupun tersangka, dan terjadinya 'abuse of power' (penyalahgunaan kekuasaan) dalam proses penanganan perkara.
Dikutip dari Antara, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan hal tersebut sebenarnya sudah ada pada Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi sejak 2015. Yaitu, penerapan Sistem Penanganan Perkara Terintegrasi antara Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
Adanya sistem ini tentu dapat mencegah terjadinya proses penanganan perkara berlarut-larut. Sayangnya penerapan sistem ini belum dilakukan oleh kejaksaan secara menyeluruh.
Ia menambahkan, mengenai penyelesaian barang sitaan, barang rampasan, denda, dan uang pengganti yang dimiliki kejaksaan, mengacu pada Laporan Tahunan Kejaksaan RI tahun 2015, disebutkan Kejaksaan RI telah merealisasikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 704.674.783.420,- yang berasal dari penyelesaian barang sitaan, barang rampasan, denda, dan uang pengganti.
"Memang ketika dibandingkan dengan target PNBP Kejaksaan RI, jumlah tersebut telah melampaui target. Akan tetapi ketika membandingkan dengan PNBP yang telah berhasil direalisasikan Kejaksaan RI tahun 2014 sebesar Rp 3.449.76.335.896,- tentu jumlah realisasi PNBP di 2015 menunjukkan penurunan yang cukup drastis," katanya.
Besarnya jumlah PNBP yang berhasil disetorkan tersebut, jika mengacu pada Laporan Tahunan Kejaksaan RI 2014 berasal dari denda Asian Agri Grup senilai Rp 2,5 triliun yang diselesaikan pada September 2014. Pembayaran denda tersebut memang salah satu bentuk prestasi.
Penurunan jumlah PNBP tersebut tentunya menjadi pertanyaan dikarenakan masih banyak barang sitaan, barang rampasan, denda, dan uang pengganti yang belum diselesaikan Kejaksaan RI. Pada 2016, BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015 mencatat Kejaksaan RI memiliki piutang PNBP sebesar Rp 15.734.835.953.479.
Besarnya nilai piutang PNBP yang ada di Kejaksaan tersebut tentu seharusnya dapat menjadi pemasukan negara apabila Kejaksaan berhasil melakukan eksekusi dan menyelesaikan piutang-tunggakan eksekusi terhadap perkara-perkara korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan, seperti kasus BLBI.
Advertisement
Â
Â