Liputan6.com, Jakarta - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat akhirnya menjatuhkan vonis bebas kepada 26 terdakwa aktivis buruh atas kasus dugaan pelanggaran tidak membubarkan diri dalam aksi demo pada 30 Oktober 2015 lalu.
"Mengadili, menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan," kata Ketua Majelis Hakim Sinung Hermawan membacakan amar putusan di ruang sidang Koesomah Atmadja 2 PN Jakarta Pusat, Selasa 22 November 2016.
Dari 26 yang divonis bebas, dua di antaranya berasal dari aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yakni Tigor Hutapea dan Obed Sakti. Sementara ada satu mahasiswa berasal dari Universitas Mulawarman bernama Hasyim Ilyas.
Advertisement
Selesai putusan, ratusan buruh yang hadir pun langsung mengumandangkan takbir. Kemudian buruh menyambungnya dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Para buruh ini didakwa melanggar Pasal 216 dan 218 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP karena tidak menaati perintah pejabat berwenang saat melakukan demo. Majelis hakim meminta pada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk memulihkan hak para terdakwa.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan aksi demo telah berjalan aman, damai, dan para buruh tidak merusak fasilitas umum maupun melakukan pelanggaran pidana. Tapi suasana menjadi tidak terkendali ketika polisi mulai menembakkan gas air mata. Hal itu terpaksa dilakukan lantaran massa buruh tak segera membubarkan diri pada pukul 18.00 WIB.
"Para buruh sebenarnya sudah beranjak meninggalkan lokasi. Namun mereka membutuhkan waktu untuk mengosongkan lokasi," kata dia.
Selanjutnya Majelis hakim mempertimbangkan kekerasan fisik yang terjadi pada Tigor, Obed, dan Ilyas juga dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM). Menurut majelis, ketiganya telah berada dalam kapasitas masing-masing untuk mendampingi aksi para buruh.
"Terdakwa Tigor dan Obed telah melengkapi diri dengan identitas dan mendampingi masa buruh, sehingga harusnya tidak ditangkap," tutur hakim.
Menanggapi putusan, pihak JPU menyatakan akan mempertimbangkan terlebih dulu.
Kasus ini bermula saat ratusan buruh berunjuk rasa menuntut Pemerintah mencabut PP Nomor 78 Tahun 2015 yang berorientasi pada upah murah pada 30 Oktober 2015. Sesuai pasal 7 ayat (1) a Peraturan Kapolri No 7 tahun 2002 tentang tata cara penyelenggaraan pelayanan pengamanan dan penanganan perkara penyampaian pendapat di muka umum. Aksi unjuk rasa dibatasi hingga pukul 18.00 WIB.
Komisaris Besar Hendro Pandowo yang saat itu menjabat sebagai Kapolres Jakarta Pusat telah meminta massa buruh membubarkan diri pada pukul 18.00 WIB dengan pengeras suara.
Tapi imbauan Hendro tidak dihiraukan massa unjuk rasa sampai pihak keamanan mengambil tindakan untuk menyemprotkan air ke pendemo dari mobil water cannon untuk membubarkan massa. Mereka juga menembakkan gas air mata ke kerumunan.