Liputan6.com, Jakarta - Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Senior Manajer PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Haryadi Budi Kuncoro melakukan korupsi terkait pengadaan 10 unit mobile crane. Adik mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto itu didakwa bersama Direktur Operasi dan Teknik Pelindo II, Ferialdy Norlan, melakukan korupsi dalam proyek pengadaan mobile crane tersebut.
"Patut diduga pengadaan 10 mobile crane tersebut tak sesuai perencanaan dan terjadi penggelembungan anggaran," ujar Jaksa Pakpahan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (28/11/2016).
Kasus ini bermula ketika Direktur Utama Pelindo II RJ Lino mengusulkan pengadaan mobile crane dengan kapasitas 25 dan 65 ton untuk keperluan cabang Pelindo II pada tahun 2011. Atas usul itu, Ferialdy lantas memerintahkan Haryadi Budi Kuncoro membuat kajian investasi dan menghitung harga satu unit mobile crane.
Advertisement
Hasil kajian menyebutkan, hampir seluruh cabang tidak membutuhkan mobile crane. Akan tetapi, pengadaan mobile crane tersebut tetap dimasukkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP). Total anggaran yang disiapkan untuk pengadaan mobile crane itu mencapai Rp 58,9 miliar.
Sedianya, pengadaan mobile crane itu akan digunakan di Pelindo II sejumlah cabang pelabuhan. Di antaranya pelabuhan Panjang, Palembang, Pontianak, Bengkulu, dan sejumlah cabang lain.
Bertentangan dengan Permen BUMN
Perbuatan Haryadi bersama Ferialdy itu dianggap bertentangan dengan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Permen BUMN jelas menyatakan, pengadaan barang dan jasa harus menerapkan prinsip efektif yang sesuai dengan kebutuhan.
Sesuai arahan Haryadi, biro pengadaan dan tim teknis meloloskan PT Guangxhi Narishi Century M&E Equipment (GNCE) selaku penyedia barang yang diproduksi Harbin Construction Machinery Co. Ltd (HCM). Padahal PT GNCE tak memenuhi syarat keuangan dan syarat teknis seperti pengadaan lima unit mobile crane dalam lima tahun terakhir.
Untuk menyiasati itu, Haryadi lalu mengubah spesifikasi teknis mobile crane untuk disesuaikan dengan spesifikasi mobil crane HCM. Tujuannya agar lolos syarat adminstrasi.
Selanjutnya pada 8 Juni 2012 Pelindo II dan PT GNCE melakukan perjanjian dengan nilai kontrak sebesar Rp 45,6 miliar. Kontrak itu meliputi 10 unit mobile crane beserta pengirimannya, sertifikasi pemakaian alat pengangkutan, garansi, hingga aksesoris alat.
Usai perjanjian, Ferialdy lalu mengajukan pembayaran uang muka sebesar Rp 9,13 miliar. Pembayaran uang muka itu rupayanya tidak didukung jaminan uang muka dari GNCE ke Pelindo II.
Ferialdy juga diketahui melakukan pembayaran tahap I sebesar 75 persen dan tahap II sebesar 5 persen. Padahal di satu sisi GNCE belum melakukan performance test maupun pelatihan apapun terkait proyek ini.
"Setelah dilakukan pemeriksaan pada tujuh mobile crane tipe QYL65 dan tiga mobile crane tipe QYL25 ternyata tidak layak operasi, karena mengalami kondisi tekuk pada pipa penyusun lengan," ucap Jaksa Pakpahan.
Tak Ajukan Eksepsi
Tak cuma itu, spesifikasi teknis dan kinerja dua tipe mobile crane tersebut juga tidak sesuai rencana kerja dan syarat teknis pengadaan. Bahkan kondisi di lapangan, semua mobile crane tersebut tidak sesuai dengan data yang ada di buki petunjuk. Kondisi seluruh mobile crane tersebut diduga bekas pakai dan tidak dimanfaatkan sesuai rencana semula.
Akibatnya negara dirugikan atas proyek pengadaan 10 mobile crane ini. Total kerugian negara dalam proyek ini mencapai Rp 37,9 miliar dari nilai proyek Rp 58,9 miliar.
Atas perbuatan mereka, keduanya terancam dipidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Atas dakwaan ini, baik Haryadi maupun Ferialdy sepakat tak mengajukan eksepsi atau nota pembelaan. Dengan begitu, persidangan akan dilanjutkan pada pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi.