Sukses

Benarkah Ada Uang Asing di Perda Anti Tembakau?

IHT yang mampu menyerap enam juta tenaga kerja plus setoran cukai dan pajak mencapai Rp 200 triliun ini sepertinya dipaksa untuk mati.

Liputan6.com, Jakarta Industri hasil tembakau (IHT), boleh jadi, kian ‘sesak nafas’. Kepungan regulasi, mulai level internasional, nasional, hingga daerah menjadikan industri dengan putaran duit ratusan triliun ini semakin kehilangan ruang gerak.

IHT yang mampu menyerap enam juta tenaga kerja plus setoran cukai dan pajak mencapai Rp 200 triliun ini sepertinya dipaksa untuk mati. Ironis.

Lihatlah, di satu sisi, Pemerintah begitu bersemangat menggenjot tarif cukai di saat yang sama begitu produktif menggencet IHT. Masalahnya, setiap aturan yang dijejalkan ke industri IHT, tak pernah tak murni rancangan pemerintah. Bahkan bisa dibilang, sebagian sangat besar dihasilkan mengkopi regulasi internasional atau dibuat oleh agen-agen internasional yang diduga kuat disponsori industri farmasi global.

Fakta menunjukkan, tangan sponsor asing dengan gelontoran dana sedemikian besar itu, sudah dinikmati oleh daerah-daerah yang merancang menerapkan perda anti tembakau.

Contoh, Dinas Kesehatan Provinsi Bali menerima dana asing untuk kampanye anti tembakau. Tujuannya untuk mendorong peraturan daerah (perda) kawasan bebas asap rokok di DPRD Bali. Dana yang digelontorkan sebesar 159.621 dolar AS. Programnya berlangsung mulai Maret 2012 dan berakhir pada Februari 2014.

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Salamudin Deng, menuliskan fakta tersebut dalam buku Kriminalisasi Berujung Monopoli: Industri Tembakau Indonesia di Tengah Pusaran Kampanye Regulasi Anti Rokok Internasional, terbitan Indonesia Berdikari, 2011.

Dalam buku itu, Daeng bersama penulis lain, seperti Syamsul Hadi, Ahmad Suryono, Dahris Siregar, Dini Adiba Septianti, dengan lugas dan bernas ‘menguliti’ bagaimana sebuah regulasi anti tembakau di daerah-daerah, seringkali bias dan juga semena-mena. Juga, aturan itu hadir semata karena urusan fulus sponsor asing. Urusan stakeholder di daerah dianggap tidak penting.

Aktor-aktor internasional, menurut Daeng, dengan leluasa dan bebas mencengkeram aparat di daerah untuk membuat kebijakan yang sejatinya juga tidak adil bagi para petani dan tentu saja industri.

Pemerintah daerah, menurut Daeng, ramai-ramai memanfaatkan momen bangkitnya gerakan anti-rokok di Amerika Serikat. Terutama sejak ada dana ratusan juta dollar dari Bloomberg Initiative.

Seperti diketahui, Bloomberg Initiative adalah motor penggerak utama kampanye antitembakau di China, Indonesia dan India. LSM ini begitu bersemangat dalam mendanai, mendesain, dan menggerakkan kampanye anti-rokok di negara berkembang.

Memang, Bloomberg hanyalah kepanjangan tangan dari “sikap berpihak” WHO (World Health Organization) setelah mendapat sokongan industri farmasi yang membiayai 75 persen dari anggaran Tobacco Free Initiative. TFI ini pula yang kemudian mendorong lahirnya rezim pengaturan tembakau internasional bernama Framework Conventionon Tobacco Control (FCTC).

Perlu disadari sepenuhnya, betapa getolnya kaum antitembakau ini mendesak pemerintah Indonesia untuk meratifikasi FCTC. Memang, untuk saat ini, Pemerintah Pusat masih menolak desakan itu.

Yang pasti, gagal di tingkat pusat, daerah pun disasar. Wujudnya adalah munculnya Perda-perda anti-rokok di Indonesia. Perda-perda ini tak pelak menjadi bagian penting dan tidak bisa dipisahkan dari kampanye anti-rokok internasional.

Perda Asal jadi

Daeng melihat, penyusunan Perda antitembakau, sejatinya, juga sering dibuat ‘alakadarnya’ alias tidak melihat aspek yang lebih luas; petani, industri, hingga konsumen. Malahan, aturan itu seringkali bias karena mereka yang miskin seringjadi sasaran kampanye. Bahkan, dari sisi penerapan pun diskriminatif melalui pendekatan represif dengan bantuan aparat Satuan Polisi Pamong Praja.

Pihak yang sering menjadi korban dari perda anti tembakau yakni kelomok miskin. Misal, perda anti tembakau di Jakarta, muncul wacana bahwa jika ada keluarga miskin yang salah satu anggota keluarganya merokok terancam tidak mendapatkan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin).

Ironisnya, Kementerian Kesehatan, dalam suatu kesempatan, menyetujui wacana tersebut, “Adanya larangan perokok untuk menerima jaminan pemeliharaan kesehatan keluarga miskin oleh Pemerintah Jakarta itu bagus sekali”. Itulah pernyataan resmi Kementerian Kesehatan.

Lagi-lagi dengan menjadikan warga negara yang lemah dan tidak berdaya sebagai sasarannya, kebijakan yang memberi stigma kepada golongan tertentu dalam masyarakat dan menjadikan mereka sebagai “korban” dari suatu kebijakan publik, jelas bertentangan dengan konstitusi.

Secara moral, opini dan persepsi pejabat publik yang seperti ini patut dipertanyakan karena seolah- olah menggampangkan masalah dan menggambarkan betapa rendahnya rasa setiakawan dan empati mereka terhadap masyarakat kecil atau segmen sosial yang kurang beruntung, yang seharusnya diberi perhatian dan bukan dijadikan“korban” atau target sasaran yang empuk untuk memaksakan suksesnya program.

Juga, harus diakui, perda anti-rokok berlaku hanya untuk segolongan warga yang lemah dan tidak berlaku untuk golongan lain yang berposisi lebih menguntungkan. Para perokok di angkot, di bus kota, menjadi sasaran utama, sementara di gedung pemerintah asap rokok masih banyak mengepul bebas.

Kritik lain terhadap perda antitembakau, seringkali lebih mendahulukan “citra” ketimbang kepentingan umum warga. Misal di DKI Jakarta, ingin menunjukkan kepada dunia internasional suatu wajah Indonesia yang tertib, indah, rapi dan bersih. Ini tentu saja suatu cita-cita mulia dan baik adanya. Namun, hal itu dilakukan represif. Rokok tak boleh dijual di warung, perokok di terminal dikriminalisasi, pedagang asongan diusir satpol PP, hingga layanan kesehatan perokok dibatasi.

Seharusnya, data Daeng, perhatian besar dari lembaga-lembaga internasional seperti WHO, Bloomberg Initiative, dan lain-lain terhadap isu rokok, tidak direspon berlebihan oleh pemda seolah-olah mengabdikan kebijakan publik pada minat dan keinginan mereka.

Dengan temuan itu, Daeng melihat bahwa penyerahan wewenang lebih luas kepada daerah melahirkan berbagai variasi peraturan dan kebijakan yang kontradiktif. Perda anti tembakau itu tak punya manfaat langsung bagi publik.

Malahan, perda dapat direkayasa oleh intervensi kepentingan non-lokal, yakni para aktor pemberi donor, atau dirumuskan tanpa memperhatikan secara serius kepentingan suara lokal, seperti petani hingga “pilihan lokal” dari masyarakat setempat sebagai stakeholder.

Untuk itu, Daeng menyarankan, agar dilakukan evaluasi total terhadap sejumlah Perda. Karena, dalam sejumlah kasus, akibat terlalu dipaksakan dan semata menyenangkan sponsor, pendapatan daerah, terutama dari pajak reklame iklan rokok, anjlok. Tak heran, sejumlah daerah, seperti Cianjur, akhirnya kembali mengijinkan pemasangan iklan reklame rokok.

Wacana pelarangan merokok di tingkat lokal, kata Daeng, harus memperlihatkan aspek kepentingan lokal yang lebih efektif dan memperkecil peluang atau kemungkinan intervensi dan rekayasa kepentingan yang tidak menguntungkan bagi masyarakat lokal.

Selain itu, untuk menghindari agar apa pun praktek pembatasan dan/atau pelarangan tersebut tidak bertentangan dengan cita-cita kebangsaan dan kepentingannasional serta tetap berada pada suatu jalur konstitusional.

Dengan kata lain, pemerintah daerah seharusnya mengendepankan hak-hak kepentingan masyarakat, bukan kepentingan pemodal sponsor apalagi demi pencitraan.




(Adv)