Liputan6.com, Jakarta Polri telah menangkap 11 aktivis dan tokoh nasional, salah satunya putri Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri, sebagai tersangka dugaan makar. Penangkapan dilakukan sesaat sebelum aksi damai Jumat 2 Desember di Monas dimulai.
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Boy Rafli Amar mengatakan, makar memiliki banyak pengertian berdasarkan pada hukum yang berlaku di Indonesia.
"Antara lain makar terhadap kepala negara, makar terhadap upaya menggulingkan pemerintahan yang sah, makar sebagai permufakatan, dan makar oleh pemberontakan, biasanya dengan senjata api dan sebagainya," ujar Boy di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Sabtu (3/12/2016).
Advertisement
Boy menjelaskan, yang saat ini ditangani Polri merupakan makar sebagai sebuah permufakatan. Di mana hal itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan delik formil, sehingga penangkapan terhadap para tersangka tidak perlu menunggu perbuatan makar terjadi.
"Artinya dia tidak perlu terjadi perbuatan makar itu, tapi dengan adanya rencana dan kesepakatan, permufakatan oleh sekelompok orang dapat dipersangkakan dengan pasal ini (Pasal 170 jo Pasal 110 jo Pasal 87 KUHP)," jelas dia.
Namun begitu, Boy menegaskan bahwa polisi telah memiliki bukti permulaan yang kuat untuk menangkap dan mempersangkakan mereka dalam perkara dugaan makar. Polisi bahkan telah mengindikasikan pidana ini jauh-jauh hari.
"Penyidik perlahan mendeteksi adanya berbagai pertemuan, kegiatan, penyelidikan, pengumpulan alat bukti, dan rumusan permufakatan itu," kata Boy.
Penyelidikan ini secara intens dilakukan sekitar tiga pekan lalu, atau setelah aksi besar-besaran pada Jumat 4 November 2016. Indikasi adanya upaya makar juga pernah disampaikan Kapolri Jenderal Tito Karnavian jauh sebelum aksi damai 2 Desember direncanakan.
"Jadi setelah peristiwa itu (demo 4 November), ketika masyarakat antusias melakukan unjuk rasa, ada upaya-upaya yang tidak sejalan dengan aspirasi yang sebenarnya, tapi justru memiliki tujuan lain," jelas dia.
Sebagai Edukasi
Boy menuturkan, penangkapan 11 tokoh terkait dugaan makar ini cukup bagus dijadikan sebagai pembelajaran atau edukasi terhadap masyarakat. Sebab, selama ini banyak masyarakat yang mengartikan makar sebagai bentuk pemberontakan bersenjata.
"Selama ini makar diartikan suatu yang sensitif, yang dikonotasikan dengan tindakan pemberontakan bersenjata," kata Boy.
"Tapi makar di era demokrasi ini, dia memanfaatkan ruang demokrasi untuk menelurkan ide, gagasan yang bisa disalahartikan oleh sekelompok orang, dan bisa menggulirkan suatu reaksi yang bersifat penghasutan," sambung dia.
Menurut Boy, demokrasi bukan berarti masyarakat bebas berbuat semaunya tanpa memperhatikan aturan hukum. Sebagai negara hukum, kebebasan di Indonesia tentu tidak absolut.
"Karena hukum itu harus diyakini menjadi sebuah produk yang demokratis karena melalui proses legislasi," terang Jenderal Bintang Dua itu.
Mantan Kapolda Banten itu meminta, masyarakat berpikir jernih terlebih dulu dalam setiap tindakan. Jangan sampai masyarakat terjebak dalam kebebasan yang kebablasan.
"Jadi ini adalah sesuatu yang perlu kita simak, jangan sampai menjadi sebuah pemahaman yang nanti keliru, melahirkan suatu kegiatan yang inskonstitusional," pungkas Boy.