Liputan6.com, Jakarta - Siraman cahaya matahari jatuh tepat di atas kepala Puger Mulyono, kala dirinya memarkirkan sebuah minibus di kawasan perkantoran di Jalan Brigjen Slamet Riyadi, Purwosari, Laweyan, Solo, Jawa Tengah. Lelaki berbadan gempal ini kemudian menyeka keringat di sekitar kening, dengan bagian kerah kemeja lurik yang ia kenakan. Usai minibus silver itu terparkir, Puger menghampiri meja kayu kecil dan bangku plastik di bawah pohon asem. Kemudian, ia meneguk secangkir kopi yang sedari tadi tersaji. Ia lantas menyandarkan punggungnya di batang pohon.
Baca Juga
Advertisement
Rutinitas itu biasa dijalani Puger selama delapan jam dalam sehari. Ia memulai aktivitas sebagai tukang parkir sejak pukul 09.00-17.00 WIB. Pekerjaan ini sudah satu dekade dilakoni Puger. Terhitung, sejak ia memutuskan pensiun dari dunia kelam premanisme, pada 2006. Namun, pekerjaan sebagai juru parkir merupakan sampingan. Sebab, ada hal yang lebih penting yang Puger kerjakan, yakni aktivis lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi pencandu narkoba dan penderita HIV/AIDS.
Aktivitas ini dijalaninya setelah mendapati banyak sahabatnya yang menjadi pencandu dan terinfeksi HIV/AIDS. Mereka kemudian menularkan virus ini kepada istrinya lewat hubungan suami istri. “Akhirnya menular ke anaknya,” kata Puger kepada Liputan6.com di Rumah Singgah Lentera Surakarta, Purwosari, Laweyan, Solo, Kamis (24/11/2016).
Berangkat dari kasus penularan HIV terhadap anak ini, Puger yang sempat menjadi pencandu putauw, langsung sadar. Pikirannya terusik dan hati kecilnya terkoyak lantaran ia mendapati, banyak anak lain yang akhirnya terinfeksi virus HIV/AIDS dan harus ditelantarkan bahkan diasingkan setelah orangtuanya meninggal.
“Anak-anak ini dikucilkan, kasih sayang keluarganya pudar, hilang, temennya juga menjauh,” tutur Puger menceritakan nasib anak-anak dengan HIV/AIDS (ADHA).
Didorong rasa kepedulian, Puger mulai mengurus ADHA. Dia menyediakan rumah singgah buat menampung anak-anak ini. Saat ini, anak yang diasuh Puger berjumlah 11 orang. Mereka berusia 1,5 tahun hingga 15 tahun. Puger menceritakan, upayanya memberi rumah kepada ADHA merupakan bukti cinta kasihnya. Sebab, ia tak pernah tega melihat anak-anak yang polos terus disakiti dan didiskriminasi.
“Mereka masih anak-anak. Kami berusaha membuat mereka merasa disayangi,” ucap Puger.
Wujud cinta kasih Puger berbentuk sebuah rumah singgah. Rumah singgah itu berada tak jauh dari lapak parkiran yang dijaga Puger. Meski cat putihnya mulai kusam, bangunan dua lantai yang terdapat di pojokan gang di kawasan Purwosari itu tampak meriah. Sejak 2015, rumah singgah ini secara de facto berada dalam naungan Yayasan Rumah Lentera Surakarta. Puger bertindak sebagai sekretaris yayasan.
Mereka yang Terinfeksi HIV
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus ganas yang belum ditemukan obatnya. Virus yang ditemukan pada 1980-an ini terus menyebar dari satu tubuh ke tubuh lain. Penemuan virus ini memacu ahli-ahli di dunia kedokteran modern terus melakukan studi. Mereka berhasrat mengetahui asal muasal virus yang banyak memakan korban ini. Sejumlah perdebatan dan penelitian akademis mewarnai perjalanan studi atas virus ini.
Meski berbagai studi terus dilakukan, di sisi lain, virus menyebar cepat. Virus ini terus berdiaspora menjangkiti tubuh manusia, tak terkecuali anak-anak. Ini pun terjadi di Indonesia.
Pada Juli 2016, International AIDS Conference mendapati diaspora virus ini melaju 3,2 persen per tahun di Indonesia.
Merujuk laporan Kementerian Kesehatan pada Maret 2016, lonjakan penyebaran virus dari 2005 hingga triwulan pertama 2016 malah lebih menakjubkan. Dari 7.018 kasus yang ditemukan pada 2006, menanjak menjadi 198.219. Ini berarti, laju pertumbuhan kasus HIV tercatat rata-rata naik 14 persen per tahun. Ini berlangsung selama satu dasawarsa terakhir.
Meski demikian, laju diaspora ini masih bisa dikendalikan. Ini terbukti dari penurunan angka penyebaran HIV terhadap anak usia 14 tahun ke bawah. Jumlah anak-anak penderita HIV pada 2010 tercatat turun dari 795 orang menjadi 239 orang pada 2016. Ini berarti pertumbuhan bisa ditekan, -5 persen per tahun.
Sementara di Jawa Tengah, jumlah kumulatif ODHA pada 1987-2016 di Jawa Tengah mencapai 5.049 jiwa, dengan angka kematian 1.449 penderita. Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Surakarta yang menaungi enam kabupaten/kota, yakni Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar dan Solo mencatat, ada sekitar 2.084 ODHA.
“Data itu kami dapat di rumah sakit. Untuk di luar rumah sakit, saya tidak mengerti,” ujar Sekretaris KPA Surakarta Harsoyo Supodo yang akrab disapa Yos kepada Liputan6.com.
Yos berujar, KPAD Surakarta tengah berusaha mengajukan dana bantuan sosial kepada lembaga atau yayasan sosial semacam Rumah Lentera Surakarta. Sementara untuk rumah singgah bagi ADHA, KPAD menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab itu kepada Puger Cs. Menurut Yos, saat ini hanya Puger tokoh yang mampu menangani isu ADHA di Surakarta.
“Saat tidak ada yang mau menampung anak-anak itu, dia hadir untuk merawat mereka. Untuk sementara ya kita ikuti yang sudah dijalankan Puger. Kami tidak memiliki program khusus ADHA, justru Puger-lah yang jadi pelopornya,” ucap Yos.
Advertisement
Rumah Singgah ADHA
Liputan6.com berkesempatan berkunjung ke rumah singgah milik Yayasan Rumah Lentera Surakarta. Sambutan hangat langsung menyapa tim Liputan6.com saat pertama kali menginjakkan kaki di halaman rumah. Anak-anak berwajah polos dan berbadan kecil ini langsung berteriak dan merajuk. “Aku mau digendong,” kata Yosep, salah seorang ADHA yang berusia enam tahun menyapa kami.
Rajukan Yosep membuat "adik-adiknya" ikut meminta digendong. Suasana di rumah itu pun menjadi makin terasa hangat. Meski bocah-bocah ini didera virus mematikan, wajah mereka tak pernah kehilangan senyum. Atmosfer kecerian terasa saat anak-anak ini berceloteh sembari memainkan mainan yang mereka didapat dari Puger.
Di dekat ruangan tempat bocah-bocah bermain, terdapat sebuah kamar tidur berukuran sekitar 4x4 meter persegi, dengan dua kasur kapuk yang sengaja ditumpuk di sudut kamar dan kipas angin duduk. Kamar tersebut bukan kamar tidur "anak-anak" Puger, melainkan kamar bagi tiga pengasuh. Ini dikarenakan, anak-anak tersebut tak pernah bisa tidur dengan nyenyak jika tidur di atas kasur.
“Itu anak-anaknya yang enggak mau. Mungkin karena panas kali ya makanya kalau malam tidur di lantai semua. Di sini ada kasur tapi mereka nyamannya di karpet tikar,” kata Rina, salah satu pengasuh di Rumah Lentera kepada Liputan6.com.
Sementara di lantai atas, terdapat tiga ruangan yang sebenarnya dapat dijadikan kamar tidur. Namun untuk mempermudah pengawasan terhadap anak-anak, ruangan tersebut dikosongkan, dan dijadikan gudang penyimpanan mainan, buku dan alat tulis serta benda-benda lainnya. Selain itu, ada satu area terbuka yang dijadikan tempat menjemur pakaian penghuni rumah singgah.
“Anak-anak ini kan ada saja polanya, kalau aktivitasnya di bawah bersama kami, maka kan gampang lihatinnya,” ujar Rina menjelaskan.
Selain menjadi tempat tinggal, Rumah Lentera juga menjadi tempat terapi buat penderita HIV/AIDS. Saban pekan, sebuah LSM yang bergerak di bidang pengawasan HIV/AIDS berkunjung ke Rumah Lentera. Penggiat LSM kemudian mengajak anak-anak dan pengasuh untuk melakukan Yoga.
Saat terapi ini, anak-anak dan pengasuh duduk bersila dan melingkari sebuah lilin yang dibiarkan menjadi penerang di tengah lingkaran. Mereka kemudian diminta tenang dan mengatakan “Tubuhku kuat, badanku sehat,”. Kalimat itu sengaja ditanamkan dalam diri anak-anak sebagai sugesti.
Dihalangi Stigma
Langkah kepedulian terhadap penderita HIV/AIDS sudah dimulai Puger sejak satu dekade. Namun, diskriminasi belum juga hilang. Ketidaktahuan dan keacuhan warga terhadap proses penyebaran virus, malah menjadikan mereka "buta". Stigma atau cap jelek bahwa HIV/AIDS sebagai penyakit menular, membuat warga tak pandang bulu untuk menolak kehadiran penderita, meskipun mereka anak-anak.
Sekretaris KPAD Surakarta Harsoyo Supodo mengatakan, sulit untuk menghapus stigma yang kadung melekat di diri penderita HIV/AIDS. Padahal, semua lini pemerintahan di Surakarta sudah mengimbau masyarakat untuk merangkul ODHA. “Bukan cuma di Solo, di seluruh dunia stigma masih sangat kuat,” kata lelaki yang akrab disapa Yos ini.
Senada dengan Yos, Kepala Dinas Sosial, Ketenagakerjaan, dan Transmigrasi (Kadinsosnakertrans) Kota Surakarta Sumartono menerangkan, sikap diskriminatif penduduk Solo terhadap ODHA dan ADHA masih sangat kental. Ia menyebut, tindakan diskriminatif ini merupakan tanggung jawab pemerintah lantaran belum berhasil memupus jurang diskriminasi.
Dinsosnakertrans Surakarta, kata Sumartono, sebenarnya ingin menyediakan tempat tinggal bagi ADHA. Namun, niat itu urung dilaksanakan. Alasannya, jika pemerintah memfasilitasi rumah tersebut, maka sesuai Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pihaknya wajib untuk memasang plang keterangan fungsi bangunan. Ini dianggap Sumartono, jadi masalah baru.
“Misalnya ‘Shelter Penampungan Anak dengan AIDS’, malah itu seperti labelisasi. Orang akan melihat, ‘Oh anak itu AIDS,’ ya seumur hidup akan seperti itu. Ini yang kita tidak mau,” kata Sumartono.
Meski terganjal stigmatiasi, rupanya Puger tetap bersyukur. Sebab, Pemerintah Kota Surakarta sudah mulai menaruh perhatian terhadap anak-anaknya. Mulai dari Komisi Penanganan AIDS Daerah (KPAD) yang memberi bantuan sosial permakanan Rp 3 ribu per hari per anak selama setahun, hingga gelontoran dana Rp 60 juta per tahun dari Dinas terkait. Bahkan sekarang anak-anak mendapat fasilitas gratis berobat HIV/ADIS di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Surakarta. “Kalau dulu selama dua tahun kami harus bayar,” ujar Puger.
Di sela-sela kesibukan dan hantaman stigma, tinggal satu keinginan Puger. Pemerintah Kota Surakarta mempermudah pembuatan akta kelahiran anak-anaknya dan kartu keluarga (KK). Itu karena, dua berkas tersebut dinilai penting untuk Puger saat hendak mengajukan proposal bantuan sosial ke pemerintah, “Sampai sekarang loh, sampai UNICEF datang ke sini kemarin. Anak-anak enggak ada KK, akta doang,” ucap Puger sembari berharap.
Advertisement