Liputan6.com, Jakarta - Baju gamis dan kopiah menjadi penanda di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Pada 29 Juli 2016, Jumat dini hari itu, 14 terpidana mati narkoba bersiap menjalani eksekusi mati jilid III. Namun, dari 14 terpidana, hanya empat yang akhirnya dieksekusi mati.
Koordinator Lapas se-Nusakambangan Abdul Aris mengungkapkan, sebenarnya, belasan terpidana mati tersebut sudah dipersiapkan menjalani eksekusi. Mereka sudah mengenakan pakaian khusus yang rapi sebelum ditembak mati.
"Ya kalau yang Islam pakai baju gamis semua. Pak Freddy, Pak Zulfiqar, Pak Gurdip, dan Pak Pujo. Persiapannya sudah semua," kata Aris saat dihubungi Liputan6.com, di Cilacap, Sabtu 30 Juli 2016.
Advertisement
Sementara terpidana non-muslim, kata Aris, juga sudah mempersiapkan diri. Hanya saja tidak ada pakaian khusus yang mereka kenakan
"Kalau yang nasrani, pakai baju yang ada di badannya saja," kata dia.
Jaksa Agung Muda Pidana Umum Noor Rachmat sebelumnya memastikan, pihaknya hanya mengeksekusi empat terpidana pada eksekusi mati jilid III. Mereka adalah Freddy Budiman, Seck Osmane, Michael Titus, dan Humprey Ejike.
"Sementara, empat yang dieksekusi mati tepat pukul 00.45 WIB," kata Noor Rachmat di dermaga Wijayapura, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat dini hari 29 Juli 2016.
Freddy Budiman merupakan warga negara Indonesia (WNI) yang dipidana mati akibat kasus impor 1,4 juta butir ekstasi. Sedangkan, Michael Titus warga Nigeria, dengan barang bukti 5.223 gram heroin.
Warga Nigeria lainnya adalah Humprey Ejike akibat selundupkan 300 gram heroin, dan warga Senegal Cajetan Uchena Onyeworo Seck Osmane terbukti membawa 2,4 kilogram heroin.
Curhat Wasiat
Usai eksekusi, yang membuat heboh adalah wasiat salah terpidana mati yang dieksekusi yakni, Freddy Budiman. Gembong narkoba ini mencurahkan isi hatinya alias curhat kepada Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar Azis.
Dari curhat Feddy Budiman itulah kemudian dituliskan Haris di laman Facebook. Tulisan itu pun menjadi semacam wasiat. Sebab, curhatan Freddy Budiman mengungkapkan praktik narkoba di Indonesia, yang tidak hanya melibatkan dirinya, tapi juga aparat penegak hukum.
Haris menuliskan pertemuannya dengan Freddy Budiman pada 2014 di laman media sosialnya. Pada tulisan tersebut, kepada Haris, Freddy mengaku menyetor sejumlah uang kepada aparat polisi dan BNN.
"Dalam hitungan saya, selama beberapa tahun kerja menyelundupkan narkoba, saya sudah memberi uang Rp 450 miliar ke BNN dan Rp 90 miliar kepada pejabat tertentu di Mabes Polri," Haris menirukan kalimat Freddy dalam postingan di akun Facebook dengan judul ‘Cerita Busuk dari Seorang Bandit’ pada tahun 2014 lalu.
Advertisement
Tak Percaya
Pimpinan Kepolisian dan BNN pun tidak mau percaya begitu saja dengan ucapan Haris. Kapolri, Jenderal Polisi Tito Karnavian, tidak menampik adanya kemungkinan pengakuan Freddy benar. Namun, Polri tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah.
"Bisa saja terjadi, kita akan dalami. Tapi bisa saja jadi alasan yang bersangkutan untuk menunda eksekusi, supaya ramai jadi tunda eksekusi," kata Tito di kantornya, Jakarta, Jumat 29 Juli 2016.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Budi Waseso tidak akan main-main dalam permasalahan ini. Dia tak ragu memberi sanksi tegas kepada pegawainya yang terbukti terlibat membantu bisnis narkoba Freddy.
"Jika terbukti, oknum BNN membantu Freddy Budiman dalam melancarkan bisnis narkobanya maka BNN akan memberikan sanksi tegas dan keras sesuai dengan aturan hukum yang berlaku," ujar Buwas melalui press release yang diterima Liputan6.com, Minggu 31 Juli 2016.
Namun, sulit untuk membuktikan pengakuan Haris tersebut. Terlebih, Freddy telah menghadap regu tembak di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Jumat lalu.
Tim Pencari Fakta
Kapolri Jenderal Tito Karnavian memutuskan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Dalam kerjanya, TGPF Polri telah menerima video pesan terakhir mendiang Freddy Budiman sebelum dieksekusi. Ada tiga video yang telah didapat dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly beberapa waktu lalu.
Anggota TGPF Hendardi mengungkap masing-masing video memiliki durasi yang berbeda.
"Ada tiga bagian dalam video tersebut. Bagian pertama berdurasi 39 detik, kedua berdurasi 18 menit 43 detik, dan ketiga 1 menit 25 detik. Video tersebut dibuat pada 28 Juli 2016, sekitar jam 17.00 lewat secara berurutan," kata Hendardi dalam pesan tertulisnya di Jakarta, Selasa 30 Agustus 2016.
Hasil investigasi, tim tidak menemukan adanya aliran seperti yang dituduhkan Freddy melalui Haris. Lalu, bagaimana kelanjutan pelaporan Haris Azhar yang dilakukan oleh Polri, TNI, dan BNN yang sempat terhenti?
"Untuk persoalan Haris Azhar ditangguhkan (penyelidikannya) atau ditunda sampai tim selesai bekerja, setelah itu sudah tidak domain kami tapi domain Kapolri sebagai user dan kaitannya terhadap persoalan Haris Azhar," kata Hendardi saat memberikan keterangan pers di kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan, Kamis 15 September 2016.
Menurut dia, TGPF hanya merekomendasikan pro-justicia atas temuan dugaan tindak pidana ketika menelusuri kebenaran testimoni Freddy. Untuk kelanjutan laporan terhadap Haris, sambung Hendardi, TGPF tidak berwenang memberikan rekomendasi.
"Itu bukan rekemondasi kami. Itu jadi keputusan Kapolri termasuk hal-hal yang ada kaitannya dengan pro justicia. Posisi Haris Azhar di dalam konteks laporan dari institusi yang diberikan ke Bareskrim, posisi tim (TPFG) bukan merekomendasikan hal semacam itu," terang Hendardi.
Advertisement