Untuk ketiga kalinya, selama menjabat sebagai presiden, Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi Australia. Ini adalah kunjungan terbanyak yang pernah dilakukan oleh seorang Presiden Indonesia ke Australia.
Di era Yudhoyono-John Howard (2004 - 2008), hubungan kedua negara ini sempat terganggu. Karena pada 2006, puluhan warga Papua menyeberang ke Australia dan hingga kini tinggal di Kota Melbourne, di negara bagian Victoria. Tapi kemudian hubungan ini membaik seiring dengan naiknya Kevin Michael Rudd sebagai perdana menteri baru di Australia.
Ada yang menarik dari Rudd. Ia pandai berbahasa Mandarin dan ini menandakan Rudd memiliki perhatian yang lebih ke Asia. Rudd mengingatkan kita pada sosok Paul Keating, yang berusaha melepaskan Australia dari keterikatannya dengan Eropa dengan menjadi "Suku Putih" di Asia.
Rudd dan juga Keating berasal dari partai yang sama yaitu Partai Buruh. Saat Howard berkuasa, sebelum menjadi pemimpin oposisi, Rudd sempat menjadi Menteri Luar Negeri bayangan dari partai oposisi. Hal ini menyebabkan Rudd matang dalam memandang hubungan luar negeri Australia dengan tetangganya.
Di dalam negeri sesaat setelah dilantik menjadi PM, Kevin Rudd sempat meminta maaf pada warga Aborigin yang teraniaya. Khususnya pada peristiwa 1970, saat orang tua warga Aborigin dipaksa berpisah dengan anak-anak mereka, dalam rangka asilimilasi. Tindakan minta maaf Rudd ini mendapatkan sambutan yang sangat baik dari penduduk asli Australia itu. Kebijakan ini juga mencerminkan pekanya Rudd bahwa benar, Australia menjadi suku putih yang bertetangga langsung dengan  Asia.
Jika di Australia ada perubahan dari Howard ke Rudd, maka di Indonesia dalam lima tahun belakangan tidak ada perubahan. Sosok Yudhoyono menjadi sosok yang disukai oleh pihak Australia. Tidak keras seperti Bung Karno, tidak dingin seperti Pak Harto, dan tidak sulit ditebak seperti Gus Dur. Sosok Yudhoyono mudah untuk diikuti sehingga analisa para Indonesianis pada pemerintahan Yudhoyono  tidak sekritis pada era Pak Harto, misalnya.
Terganjal Balibo Five
Kalau ada yang mengganjal dalam hubungan kedua negara ini tak bukan karena kasus terbunuhnya wartawan Australia di Balibo pada 1975. Film Balibo Five yang diproduksi oleh produser berwarga negara Australia ditolak tayang di bioskop di Tanah Air. Meski kemudian, film ini malah dinikmati melakui acara nonton bareng, dan bahkan kemudian DVD bajakan dengan kualitas bagus beredar bebas.
Dalam pertemuan Yudhoyono-Rudd di jamuan makan di Parlemen Australia pada Rabu (10/3) pagi, Shirley Schakleton, janda mantan reporter Channel 7 Greg Shackleton, salah satu korban Balibo Five sempat berusaha untuk memberikan surat pribadinya pada Presiden Yudhoyono. Selain itu ada surat kabar The Canberra Times yang menyoroti pentingnya penyelesaian kasus Balibo, demi harmonisasi hubungan kedua negara.
Masalah Balibo Five memang bukan masalah Government to Government  atau G to G. Tapi, ini bisa berimbas ke hubungan global kedua negara. Saat 42 warga Papua diterima Australia, maka sebuah koran di Indonesia mengeluarkan karikatur yang mengejek PM John Howard. Tak lama, sebuah koran di Australia membalas dengan membuat karikatur yang mengejek Presiden Yudhoyono.
Ini memang terjadi sekitar empat tahun lalu. Di era Yudhoyono-Rudd memang belum ada masalah besar kecuali pelarangan pemutaran Balibo Five. Penampilan pertama Presiden Indonesia di depan Parlemen Australia menunjukkan keberanian Indonesia di era keterbukaan. Dalam pidatonya bahkan Presiden Yudhoyono mendapatkan tepuk tangan sambil berdiri dari anggota Parlemen saat mengumumkan keberhasilan polisi menembak mati Dulmatin, sang teroris. Keberanian Presiden untuk berdiri di depan anggota Parlemen ini bukan tanpa risiko. Sebab, anggota Parlemen yang jumlahnya 220 orang ini bisa saja mengajukan pertanyaan seputar isu HAM terutama di Papua.
Dari Rudd ke Obama
Keberhasilan Presiden Yudhoyono dalam diplomasinya di Australia ini akan berdampak besar dalam pertemuannya dengan Presiden Amerika Serikat Barack Obama bulan ini. Australia dikenal sebagai jendela Amerika di Asia Pasifik. Sehingga apapun yang menjadi pandangan Australia terhadap Indonesia, nampaknya itulah yang menjadi pandangan Amerika Serikat. Kalaulah kunjungan ini dianggap berhasil, maka sebetulnya bargaining position Indonesia harusnya naik.
Boleh juga jika kita meminta agar Freeport berbuat lebih bagi suku Amungme. Pada Senin lalu, masyarakat Suku Amungme, Kabupaten Timika, Papua, kembali mengajukan gugatan terhadap PT Freeport ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan terfokuskan pada perampasan tanah ulayat secara paksa pada 1969 lampau. Jika beberapa keputusan Obama cukup kontroversi dengan menutup Guantanamo, boleh sedikit berharap, orang Papua yang juga mendapatkan sorotan dari Australia itu bisa mendapatkan hak-hak mereka.
Â
Raymond Kaya
Kepala Peliputan Liputan 6 SCTV
Advertisement