Liputan6.com, Jakarta - Proses hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok terbilang cukup cepat. Saat ini kasus dugaan penistaan agama tinggal menunggu sidang.
Ketua Umum Setara Instutute Hendardi mengatakan, proses hukum kasus Ahok ini terbilang terlalu cepat. Langkah ini justru mengesankan jaksa tidak serius memeriksa berkas kasus Ahok. Padahal, salah satu pasal yang disangkakan, yakni Pasal 156 a tentang penistaan agama, dinilai sudah usang dan tidak pas digunakan saat ini.
Baca Juga
Tingkatkan Partisipasi Kelompok Rentan dalam Demokrasi, Setara Institute Fasilitasi Workshop Koalisi ASPIRASI
Kuatkan Partisipasi Kelompok Rentan di Pilkada, Setara Institute dan Koalisi ASPIRASI Susun Rekomendasi Kebijakan
SETARA Institute soal Pembubaran Diskusi di Kemang: Teror Terhadap Kebebasan Berekspresi
Seharusnya, proses penerimaan berkas dari kepolisian kepada jaksa 14 hari. Tapi, hanya dalam waktu tiga hari berkas sudah dinyatakan lengkap atau P21. Begitu juga dengan berkas Ahok dari jaksa ke pengadilan. Jaksa hanya perlu waktu dua jam dan kemudian diserahkan ke pengadilan.
Advertisement
"Kejaksaan Agung tidak melakukan verifikasi yang benar. Bandingkan dengan kasus HAM berat yang dikembalikan lagi ke kepolisian maupun ke Komnas HAM," kata Hendardi saat diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (10/12/2016).
Kecepatan jaksa ini malah diartikan sebuah prestasi. Padahal, jaksa dinilai tidak akurat dalam menyusun berkas perkara.
"Kalau ini bukan kerjaan Kejaksaan tapi tukang pos dan tukang ojek ingin cepat antar surat. Mereka tidak pelajari, dua jam dilempar karena tidak mau lama pegang bola panas ini," imbuh dia.
Kejaksaan seharusnya melaksanakan fungsinya sebagai kontrol terhadap kerja penyidik dalam menangani sebuah kasus. Sehingga independensi juga diragukan lantaran ada tekanan dari massa.
"Kalau dua jam apa yang bisa dikoreksi (berkas perkara Ahok). Memang tidak ada larangan melakukan cepat-cepat. Cepat itu bukan berarti baik," pungkas Hendardi.