Liputan6.com, Jakarta Ahmad Basarah (Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR RI dan Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) DPP PDI Perjuangan) pada tanggal 10 Desember 2016 menjalani Sidang Promosi Doktor di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Sidang ini dalam rangka diperolehnya Gelar Doktor Hukum Tata Negara dengan Disertasi yang berjudul : Eksistensi Pancasila Sebagai Tolok Ukur Dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Di Mahkamah Konstitusi: Kajian Perspektif Filsafat Hukum Dan Ketatanegaraan. Bertindak sebagai majelis penguji dalam sidang promosi doktor ini diantaranya adalah: Prof. Dr. Arief Hidayat (Ketua MK); Prof. Dr. Adji Samekto (Ketua Program S3 FH Undip); Prof. Dr. M. Mahfud MD (Ketua MK 2008-2013); Prof. Dr. Benny Riyanto (Dekan FH Undip); Prof. Dr. Widodo Ekatjahjana (Guru Besar FH Universitas Jember/Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM); dan Prof. Dr. M. Guntur Hamzah (Guru Besar FH Univ Hasanuddin/Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi/MK).
Dalam disertasinya Ahmad Basarah menyelidiki kedudukan Pancasila yang lahir tanggal 1 Juni 1945 sebagai sumber dari segala sumber pembentukan hukum nasional maupun tolok ukur pengujian UU di MK. Selain itu juga hendak melakukan objektifikasi dan penyelidikan ilmiah atas kelahiran Pancasila.
Dalam hasil penelitian Ahmad Basarah dihasilkan temuan bahwa keputusan Presiden Joko Widodo yang telah menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila sesuai Keppres Nomor 24 tahun 2016 menemukan dasar pijakan argumentasinya yang kokoh. Dasar pijakan historis dan yuridis yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:
1. BPUPK adalah suatu badan khusus yang dibentuk dan disepakati oleh para Pendiri Negara untuk menyelidiki persiapan kemerdekaan Indonesia;
2. Sidang BPUPK tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 agendanya tunggal, yaitu khusus membahas tentang apa dasar negara Indonesia jika merdeka kelak;
3. Soekarno adalah Anggota resmi sidang BPUPK;
4. Soekarno, untuk pertama kalinya di depan sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945 menyampaikan pandangan dan gagasannya tentang lima prinsip atau dasar bagi Indonesia merdeka yang disampaikan secara konsepsional, sistematis, solid dan koheren dan diberikan nama Pancasila. Bahkan istilah Pancasila itu sendiri hanya dapat kita temui dalam Pidato 1 Juni 1945 dan tidak kita temukan dalam naskah UUD 1945 sebelum perubahan atau naskah UUD 1945 setelah perubahan.
5. Pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 tersebut telah diterima secara aklamasi oleh seluruh peserta sidang BPUPK.
Advertisement
Disertasi ini juga menyatakan bahwa posisi dan kedudukan hukum Pancasila bukanlah terletak di dalam Pembukaan UUD 1945, karena hal itu berarti menempatkan posisi Pancasila bukan hanya sejajar dengan UUD tetapi justru menjadi bagian dari UUD. Padahal, posisi dan kedudukan hukum Pancasila adalah sebagai norma dasar (grundnorm) yang sifatnya meta legal dan berada di atas UUD.
Dengan demikian, pandangan yang selama ini mengatakan bahwa Pancasila lahir pada tanggal 18 Agustus 1945 karena Pancasila ditempatkan dalam pembukaan UUD 1945 adalah pandangan yang tidak tepat. Hal ini juga didukung fakta-fakta sebagai berikut:
1. PPKI tanggal 18 Agustus 1945 tidak pernah menetapkan Pancasila sebagai dasar Negara;
2. PPKI tanggal 18 Agustus 1945 hanya menetapkan dua hal, yaitu;
2.1 Mengesahkan UUD 1945
2.2 Mengangkat Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk pertama kalinya.
3. Telah dikeluarkannya Keppres nomor 18 tahun 2008 tentang penetapan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Hari Konsitusi.
4. Apabila Pancasila dinyatakan ada di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, maka sebenarnya sebagai dasar negara, Pancasila pernah mengalami perubahan, karena ketika UUD 1945 diganti dengan Konstitusi RIS pada tahun 1949 dan kemudian Konstitusi RIS 1949* diganti dengan UUD Sementara pada tahun 1950, rumusan sila-sila Pancasila yang terdapat di dalam pembukaan dua UUD tersebut telah berbeda dengan rumusan sila-sila Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945. Padahal sesuai dengan teori hukum murni yang disampaikan oleh Hans Kelsen bahwa norma dasar (grundnorm) merupakan sesuatu yang dikehendaki yang bersumber dari keinginan rakyat melalui para pendiri bangsa. Oleh karena merupakan kehendak bersama, maka grundnorm tidak dapat berubah-ubah dan bersifat mengharuskan.
5. Terdapat fakta hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Aturan Tambahan Pasal II UUD 1945 yang berbunyi “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Maka jelaslah bahwa sila-sila Pancasila sebagaimana termaktub dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 tersebut adalah bagian dari UUD. Sementara, posisi Pancasila sebagai norma dasar atau grundnorm yang bersifat meta legal, kedudukannya berada di atas UUD.
6. Terdapat fakta Putusan MK Nomor 100/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang pada intinya MK menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar negara kedudukannya tidak bisa disejajarkan dengan UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika*, yang oleh Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Partai Politik disebut sebagai empat pilar berbangsa dan bernegara. Menurut MK, Pancasila memiliki kedudukan yang tersendiri dalam kerangka pikir bangsa dan negara Indonesia berdasarkan konstitusi yaitu disamping sebagai dasar negara, juga sebagai filosofi negara, norma fundamental negara, ideologi negara, cita hukum* negara, dan sebagainya. Oleh karena itu, menurut MK menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar yang sejajar dengan UUD 1945 dapat mengaburkan posisi Pancasila dalam makna yang demikian itu.
Disertasi ini juga menyatakan tidak ada mekanisme hukum apapun untuk dapat mengubah Pancasila, kecuali melakukan revolusi dan membubaran negara atau dengan cara makar terhadap ideologi negara Pancasila. Lembaga MPR sebagai pembentuk konstitusi (constitution maker) sekalipun, tidak dapat mengganti Pancasila, karena kewenangan MPR menurut Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 hanyalah “mengubah dan menetapkan UUD”, sementara kedudukan Pancasila berada di atas UUD.
Dalam doktrin ilmu hukum, menurut Teori Hukum Murni (pure theory of law) yang disampaikan Hans Kelsen, Pancasila merupakan norma dasar (grundnorm). ciri grundnorm adalah dalam konteks terjadinya ditentukan oleh pembentuk negara pertama kalinya, kemudian terjelma dalam suatu bentuk pernyataan lahir (ijab kabul) sebagai penjelmaan kehendak pembentuk negara untuk menjadikan hal-hal tertentu sebagai dasar negara yang dibentuk. Dalam hal isinya, memuat dasar-dasar negara yang dibentuk, cita-cita kerohanian, cita-cita politik dan cita-cita negara lainnya dan memuat ketentuan yang memberikan bentuk pada hukum positif. Dengan ciri Pancasila yang tidak dapat diubah tersebut maka mengganti dasar dan ideologi Pancasila berarti sama dengan membubarkan negara proklamasi 17 Agustus 1945.
Adapun rekomendasi dalam disertasi ini, diantaranya adalah MK dalam menjalankan wewenangnya seharusnya tidak hanya sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), melainkan MK seharusnya juga berfungsi sebagai pengawal ideologi negara (the guardian of the ideology), yakni Pancasila. Sebagai konsekuensi kedudukan sebagai pengawal Ideologi negara maka dalam mengadili suatu perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 MK selain mendasarkan pada pasal-pasal UUD 1945, seharusnya juga mendasarkan pada Pancasila sebagai tolok ukur.
Rekomendasi lainnya adalah pentingnya pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan eksekutif perlu untuk membuat panduan atau pedoman sebagai dokumen resmi dalam menafsirkan dan memahami sila-sila Pancasila yang bersumber dari dokumen otentik Pidato Pancasila 1 Juni 1945. Hal tersebut penting sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Keppres No. 24
Tahun 2016 yang telah menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila agar dokumen tersebut dapat digunakan oleh para hakim MK, DPR bersama Pemerintah dalam pembentukan undang-undang, DPRD bersama Kepala Daerah dalam pembentukan peraturan daerah, maupun penyelenggara negara lainnya. Panduan atau pedoman resmi tentang Pancasila tersebut juga dimaksudkan agar segenap komponen bangsa tidak memaknai Pancasila sesuai dengan selera dan kepentingannya masing-masing yang bersifat perseorangan, kelompok, maupun golongan.
(*)