Sukses

Penuhi Panggilan KPK, Setya Novanto Didampingi Politikus Golkar

Idrus yang mendampingi sempat memberikan komentarnya. Menurut dia, pihaknya menyerahkan sepenuhnya masalah ini kepada KPK.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPR Setya Novanto memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pemeriksaan sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP tahun 2011-2012.

Mengenakan kemeja batik cokelat, pria yang karib disapa Setnov itu ditemani sejumlah politikus Partai Golkar. Di antaranya Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham, Ketua DPP Bidang Humas dan Penggalangan Opini Partai Golkar Nurul Arifin, dan Wakil Ketua Mahkamah Partai Golkar Rudy Alfonso yang sekaligus kuasa hukum Setnov.

Tak ada komentar dari Setnov saat tiba di Gedung KPK. Dia langsung masuk ke dalam lobi Gedung KPK.

Idrus yang mendampingi sempat memberikan komentarnya. Menurut dia, pihaknya menyerahkan sepenuhnya masalah ini kepada KPK.

"Pak Setnov datang selaku Ketua DPR ingin memberikan contoh kepada masyarakat bila dipanggil penegak hukum datang, harus hadir," ujar Idrus.

Dia mengatakan, pemenuhan panggilan KPK ini juga untuk mengklarifikasi berbagai isu terkait kasus ini. Namun dia enggan mengomentari materi pemeriksaan.

"Pak Setnov berkepentingan untuk cepat klarifikasi berbagai isu. Kalau persoalan materi, tanya penyidik, tanya penyidik nanti," ujar Idrus.

KPK telah menetapkan dua orang tersangka pada kasus dugaan korupsi proyek e-KTP tahun 2011-2012 di Kemendagri. Keduanya, yakni bekas Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto.

Irman dan Sugiharto dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

KPK sendiri telah mendalami kasus dugaan korupsi proyek e-KTP tahun 2011-2012 ini pada tingkat penyidikan hingga dua tahun lebih. Baik Irman maupun Sugiharto, dalam sengkarut proyek senilai Rp 5,9 triliun itu diduga telah menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara sampai Rp 2,3 triliun.