Liputan6.com, Jakarta - Bekonang, sebuah desa yang berjarak 7,5 kilometer di timur Surakarta, menjadi desa yang dikenal sebagai penghasil alkohol. Desa yang berada di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, ini ditempati perajin-perajin alkohol yang menggunakan bahan dasar limbah tetes tebu atau badeg.
Produksi alkohol di desa ini sudah berlangsung puluhan tahun. Sabariyono, salah seorang tokoh masyarakat sekaligus Ketua Paguyuban Perajin Alkohol di Bekonang, menjelaskan kegiatan produksi alkohol rumahan telah berlangsung sebelum Indonesia merdeka.
Advertisement
“Ini sudah ada sejak zaman penjajahan. Baik zaman Jepang maupun Belanda,” kata Sabariyono kepada Liputan6.com di kediamannya, Desa Bekonang, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (26/11/2016).
Alkohol produksi Bekonang dikenal luas dengan sebutan ciu. Ciu Bekonang, demikian khalayak menyebut, merupakan minuman keras yang dihasilkan dari penyulingan atau destilasi badeg selama lima hari sampai tujuh hari. Kadar alkohol dalam ciu sekitar 25 persen hingga 35 persen.
Umumnya, kata dia, ciu dijual bebas masyarakat sekitar di warung-warung kelontong di kawasan seluas 321 hektare ini. Keberadaan ciu membuat Bekonang dikenal masyarakat di wilayah Sukoharjo dan sekitarnya. “Ciu identik dengan miras,” ucap lelaki berusia 59 tahun ini.
Label ini, kata Sabariyono, sebenarnya membuat warga risih. Sebab, kata dia, alkohol yang mereka buat tak hanya untuk diminum, tetapi juga digunakan untuk industri. Ini membuat Pemerintah Daerah Sukoharjo kemudian menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2012 tentang Pengawasan, Pengendalian, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Perda tersebut, kata Sabariyono, menyebutkan ciu tidak memiliki izin edar sebagai minuman beralkohol. Regulasi ini kemudian menjadi alat pemerintah daerah untuk mengalihkan produksi ciu menjadi etanol.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Sukoharjo Sutarmo menjelaskan, Pemda berkeinginan melestarikan keterampilan masyarakat setempat dalam mengolah alkohol. Namun, kata Sutarmo, Pemda Sukoharjo tak menghendaki jika produksi alkoholnya hanya berjenis minuman keras.
“Ciu itu kan sebetulnya bukan minuman, itu kan bahan mentah yang belum jadi alkohol (etanol),” ujar Sutarmo saat ditemui Liputan6.com.
Upaya regulasi ini membuat 70 perajin alkohol yang tercatat pada 2012 beralih dari produksi ciu ke alkohol etanol. Geliat peralihan produksi ini sempat membuat industri alkohol rumahan menjamur. Sebab, harga jual alkohol etanol jauh lebih mahal dibanding harga jual ciu.
“Ya tetap (mahal) alkohol. (Harga jual) ciu itu paling sekitar Rp 7 ribu per liter. Kalau untuk alkohol, kan, Rp 25 ribu per liter,” ucap Hari, salah seorang perajin dan pemilik pabrik alkohol di Bekonang.
Memproduksi Alkohol
Liputan6.com berkesempatan mengunjungi salah satu pabrik alkohol etanol milik warga bernama Hari (36). Saat tim masuk ke dalam pabrik, empat tungku api yang tengah menyala menyambut kami. Tungku-tungku itu sedang merebus dua drum ciu sebagai proses destilasi kedua. Penyulingan tahap dua ini akan menaikkan kadar alkohol dari 30% menjadi 50%.
Sebelum penyulingan tahap kedua, Hari dan pegawainya sudah terlebih dahulu memfermentasikan badeg sebagai bahan baku awal, dengan air dan mikroba dalam drum. Fermentasi ini ditandai munculnya buih-buih kecil dipermukaan air badeg hingga akhirnya hilang dalam sepekan.
Setelah buih hilang, air badeg dipanaskan di atas tungku bara api dengan bahan bakar kayu hingga mendidih dan mengeluarkan uap. Uap tersebut kemudian masuk ke dalam selang dan terjadi proses penyulingan pertama yang menghasilkan alkohol dengan kadar 25% sampai 35%.
Suhu di dalam pabrik Hari terasa sangat panas. Percik-percik api meletup dari kayu bakar yang menjadi sumbu api di tungku. Namun, perajin alkohol ini tampak terbiasa dengan suhu panas dan lembab di dalam pabrik.
“Ini kita proses masak alkohol dari kadar 30% sampai 35%, ke kadar 50 sampai 90%,” kata Hari kepada Liputan6.com.
Dalam proses penyulingan tahap dua ini, alat yang digunakan adalah pipa stainless, yang dipasang di atas drum ciu yang sedang direbus. Pipa stainless juga terhubung dengan drum kosong di sampingnya, yang menjadi wadah penampung tetes alkohol hasil destilasi kedua.
Di pabrik seluas 100 meter persegi dan bertembok batu bata tersebut, dua perajin alkohol yang dipekerjakan Hari dapat memproduksi 60 liter alkohol etanol berkadar 85 sampai 90% dalam sehari. Proses penyulingan ini berlangsung selama tiga hari.
“Tiga kali masak (menyuling) badeg ya, tiga hari kerja,” kata Hari melanjutkan.
Setelah kadar alkohol naik 90%, Hari memasarkan alkohol buatannya ke sejumlah pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah, atau apotek dan pabrik farmasi lain yang berada di sekitar Sukoharjo. Alkohol ini, kata Hari, biasa digunakan untuk bahan sterilisasi peralatan medis atau peralatan industri lainnya.
Meski masih memproduksi alkohol sesuai Perda Nomor 7 Tahun 2012, Hari mengakui permintaan etanol malah menurun. Produk alkohol untuk kebutuhan industri tak selaku alkohol untuk dikonsumsi pribadi. Hari mengakui, banyak teman-temannya sesama perajin alkohol akhirnya kembali memproduksi ciu. Sebab, ciu lebih mudah mendatangkan pundi rupiah.
“Itu alasan beberapa perajin menjual ciu. Untuk UKM kecil, kan, sukanya proses bentar langsung dapat hasil,” kata Hari menjelaskan maraknya penjualan ciu.
Turunnya permintaan juga membuat sejumlah perajin gulung tikar. Sabariyono menjelaskan, 13 perajin sudah berhenti memproduksi alkohol 90 persen. Selain bahan baku mahal, produksi mereka juga tak laku. Apalagi, kata Sabariyono, ada regulasi yang membuat perajin makin tertekan.
Di sisi lain, Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo malah tak mengakui etanol produksi perajin dari Bekonang. Kepala Dinas Kesehatan Nasruddin menegaskan, jajaran Dinkes tidak pernah menggunakan etanol produksi Bekonang.
“Kami tidak tahu bagaimana cara pengolahannya, berapa kadarnya, terus distribusinya bagaimana. Sehingga dari sisi keamanan untuk kami, kami pakai yang sudah ada surat izin edar, surat dari Kementerian Kesehatan dan sudah masuk e-katalog untuk pengadaannya,” kata Nasruddin.
Advertisement
Simalakama Industri Alkohol
Problematika yang ada di Bekonang tak hanya soal lesunya roda industri rumahan alkohol etanol. Produksi alkohol di satu sisi menjadi masalah di sisi lain. Limbah alkohol menjadi sisa produksi yang membuat perajin harus bersitegang dengan sesama warga Bekonang.
Sabariyono menceritakan sebagian warga Bekonang yang sehari-hari merupakan petani berang terhadap perajin. Pasalnya, limbah alkohol dari pabrik mengalir ke saluran irigasi air yang digunakan untuk sawah milik petani. Petani pun marah lantaran sawah rusak.
“Dulu memang belum diatur. Dibuang di sembarang tempat ya, mungkin di saluran lalu mengalir ke saluran irigasi ya. Jadi, airnya tidak baik,” kata Sabariyono menerangkan penyebab pertikaian perajin dan petani.
Beruntung, kata dia, pertikaian tak berlangsung lama. Pemda dan Paguyuban Perajin Alkohol akhirnya sepakat memproses limbah. Perajin akhirnya menyisihkan uang untuk membangun tempat pengolahan limbah atau yang dikenal dengan nama Instalasi Pengolahan Limbah (Ipal). Olahan limbah ini menghasilkan pupuk cair bernama Ciunik.
Keberadaan Ciunik tak bisa diterima begitu saja oleh petani. Selain berbahan limbah alkohol, petani masih curiga pupuk tersebut tak punya manfaat. Apalagi, petani di Bekonang tak terbiasa memperbaiki tanah yang rusak. Akibatnya, instalasi tersebut tak banyak berguna.
Perajin alkohol kini berharap pemerintah serius melestarikan Bekonang sebagai sentra industri rumahan alkohol etanol. Warga tak menghendaki, hasil produksi mereka malah dianggap sebagai "anak haram" Sukoharjo. Supaya, mereka tak kembali menjadi produsen minuman keras seperti yang sudah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2012.
“Agar perajin enggak jual ciu lagi,” ucap Hari menuturkan harapannya dan sesama perajin yang kini tinggal 57 orang.