Sukses

6 Kisah Pemasungan yang Memilukan

Kisah pilu dirasakan beberapa orang yang hidup dalam pemasungan. Mereka terus menjalani harinya sepanjang 2016. Siapa saja mereka?

Liputan6.com, Jakarta - Dartam, remaja asal Desa Pageraji Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah itu memang paling tampan di desanya. Karena itu banyak gadis menyukai dia. Gonta ganti pacar sudah biasa, karena di kampungnya dia terkenal sebagai playboy.

Namun, lelaki berusia 57 tahun itu kini hanya bisa meringkuk di gubuk mirip kandang. Dia terpasung. Sudah 24 tahun ia habiskan masa hidupnya di tempat itu. Dartam pun hanya pasrah.

"Saya tidak tahu mengapa saya dimasukkan ke kandang ini," kata Dartam, warga Desa Pageraji Kecamatan Cilongok, Banyumas.

Kisah Dartam yang hidup dalam pemasungan mewarnai perjalanan tahun 2016. Beberapa cerita yang mirip, juga dialami beberapa orang lain.

Berikut sejumlah kisah manusia-manusia terpasung yang dihimpun Liputan6.com, Jumat (30/12/2016):

2 dari 7 halaman

Kisah Dartam Sang Playboy Banyumas

Dartam, remaja asal Desa Pageraji Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah itu memang paling tampan di desanya. Karena itu banyak gadis menyukai dia. Gonta ganti pacar sudah biasa, karena di kampungnya dia terkenal sebagai playboy.

Namun, lelaki berusia 57 tahun itu kini hanya bisa meringkuk di gubuk mirip kandang. Dia terpasung. Sudah 24 tahun ia habiskan masa hidupnya di tempat itu. Dartam pun hanya pasrah.

"Saya tidak tahu mengapa saya dimasukkan ke kandang ini," kata Dartam, warga Desa Pageraji Kecamatan Cilongok, Banyumas, November 2016.

Pesona sang flamboyan itu mulai luntur tatkala cintanya ditolak gadis pujaan hatinya dari Desa Jatisaba, Cilongok, Banyumas.

Penolakan itu membuat Dartam frustrasi. Depresi luar biasa. Ia dendam dengan penolakan sang gadis, sampai akhirnya menderita gangguan jiwa.

Dartam yang kesumat kerap membawa golok ke luar rumah. Ia mengancam siapa saja yang ditemuinya. Untuk menangkapnya, keluarga biasanya meminta bantuan orang pintar.

Dartam mungkin terkena getahnya, ketika cintanya ditolak pujaan hatinya. Sebab dulu dia meninggalkan pacar pertama dan keduanya hanya karena kulit mereka berwarna kecokelatan.

Sementara sang playboy itu sangat mencintai pacar ketiganya. Bahkan, dia memacari gadis pujaannya itu hingga dua tahun.

Dartam seperti Samson, memiliki kekuatan luar biasa. Kekuatan itu bisa diperolehnya tatkala terpapar sinar matahari.

"Dia kalau terkena sinar matahari pasti tenaganya langsung kuat dan mengamuk. Pernah pohon kelapa tetangganya dipangkas tanpa sebab dan ia suka mengancam ke orang lain. Maka dikerangkeng jalan terbaik, sebab tidak akan terkena pancaran sinar matahari demi keamanan warga," ujar Kepala Dusun 2 Desa Pageraji, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Sudar.

Tak tahan tinggal di bekas kandang kambing, Dartam pun berkali-kali mencoba kabur. Dia mencoba kabur dengan menggali tanah di bawah gubuk itu. Agar tak kabur lagi, bagian bawah gubuk dipasangi bambu.

Sukardi, adik ipar Dartam, mengatakan, selama 24 tahun Dartam tak pernah mandi. Ia juga jarang sakit, paling batuk dan pilek.

Di antara keluarganya, Dartam sejatinya yang paling pintar. Ia sekolah hingga kelas empat sekolah dasar. Pria yang menghabiskan masa hidupnya 24 tahun di pemasungan itu, dulunya juga dikenal seorang pekerja keras.

Dartam biasa menderes nira dan mencangkul di ladang. Bahkan, sampai saat ini, meski dipasung dia masih tetap melakukan aktivitas untuk mengisi waktu luangnya.

Di bekas gubuk, Dartam punya pisau kecil yang biasa digunakan untuk membuat layang-layang. Layang-layang itu untuk hiasan di dinding gubuk. Sesekali ia memberikan kepada anak-anak yang lewat.

3 dari 7 halaman

Anak Pasung Ibu Kandung Selama 7 Tahun

Janisah seorang ibu berusia 48 tahun di Makassar, Sulawesi Selatan, dipasung dengan cara dirantai pergelangan kaki dan tangannya lantaran mengidap penyakit psikosis.

Ia dipasung selama tujuh tahun oleh saudara dan anak kandungnya sendiri di rumahnya, Jalan Tanggapan Raya III, Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Kisah ibu yang tak pernah melihat dunia luar dan menghirup udara segar ini terungkap, setelah seorang warga setempat menceritakan tentang pemasungan Janisah, kepada petugas Home Care Puskesmas Bangkala beberapa waktu lalu.

"Kami baru tahu setelah salah seorang warga yang menjadi kader Posyandu cerita kepada kami dalam acara sosialisasi Home Care, beberapa waktu lalu. Kami baru tahu kalau di Bangkala, ini ternyata ada ibu antisipasinya selama tujuh tahun karena mengidap penyakit psikosis," kata Hajrah, petugas Home Care Puskesmas Bangkala kepada Liputan6.com, Jumat 4 November 2016.

Mengetahui kabar tersebut, beberapa petugas Home Care langsung mengunjungi kediaman Janisah untuk melihat keadaannya. Mereka kaget saat melihat ibu tersebut dalam keadaan dirantai pergelangan kaki dan tangannya. Sementara, ujung rantai lainnya tertanam kokoh dalam lantai cor beton.

"Saat tiba di rumahnya (Janisah) kami kaget, dia bukan dipasung pakai kayu, tapi pakai rantai dan ujung rantainya ditanam di lantai cor semen beton," Hajrah menerangkan.

Petugas kemudian memeriksa kesehatan Janisah, ternyata kondisinya tidak baik. Dia langsung diberi obat. Ternyata dia mengidap penyakit psikosis, yakni gejala gangguan mental berat.

Pengidap penyakit ini biasanya kehilangan kemampuan untuk mengenali realitas atau berhubungan dengan orang lain. Pengidap juga biasanya berperilaku tidak tepat dan aneh.

"Psikosis muncul sebagai gejala dari sejumlah gangguan mental, termasuk gangguan suasana hati atau mood, gangguan kepribadian, skizofrenia, halusinasi, delusi, katatonia dan penyalahgunaan zat," terang Hajrah.

Sementara, Kepala Dinas Sosial Kota Makassar Mukhtar Tahir langsung menjemput ibu paruh baya itu, setelah mengetahui nasib memprihatinkan itu.

Mukhtar menyesali kejadian yang seharusnya menjadi pelajaran penting bagi jajaran di bawahnya. "Harusnya semua stakeholder yang ada mampu lebih aktif lagi dalam mengawasi wilayahnya, termasuk lurah dan camat."

"Semestinya tidak perlu ada pembiaran apa lagi orang-orang seperti Janisah itu butuh perhatian lebih," Mukhtar menandaskan. 

4 dari 7 halaman

Guru Dipasung Akibat Ketidaktahuan

Anto Sg terkenang kembali kejadian yang dialaminya 17 tahun lalu di Tulungagung, Jawa Timur. Sebuah peristiwa yang masih menyisakan trauma pada laki-laki yang kini berprofesi sebagai guru Bahasa Inggris itu.

"Tangan dan kaki saya diikat di ranjang puskesmas karena saya berusaha minggat," ujar pemilik nama asli Agus Sugianto yang ditemui di Fakultas Psikologi UGM Yogykarta, Jumat, 7 Oktober 2016.

Anto diperlakukan seperti itu. Dipasung, dalam bahasa dan pemahamannya. Kedua orangtuanya kebingungan menghadapi sikapnya yang berubah drastis ketika itu.

Anto lebih banyak diam dan bermuram durja. Berkali-kali dibawa ke puskesmas untuk mendapatkan pengobatan, tak juga kunjung membaik.

Dokter saat itu mendiagnosis Anto mengalami gangguan jiwa berat. Sebuah vonis yang membuatnya dijauhi lingkungan sekitar. Tetangga, teman, keluarga tak ada satu pun yang dirasanya memberi dukungan.

Anto yang usianya baru menginjak kepala dua kala itu, merasa frustasi dengan kondisinya. Dia tak boleh kemana-mana, apalagi bergaul dengan rekannya, karena saat itu tak seorang pun yang bisa menerima kondisi laki-laki kelahiran 1978 itu.

"Karena semakin tertekan saya putuskan pergi dari rumah, eh tapi ketahuan dan justru dipasung di puskesmas," ucap dia.

Anto sejatinya memaklumi. Waktu itu fasilitas layanan kesehatan belum seperti sekarang. Bukannya membaik, dipasung, justru memperparah kondisinya yang putus asa, tertekan, sedih, tidak bisa tidur, bahkan pernah terlintas ingin bunuh diri.

Orangtuanya yang hanya mengenyam pendidikan SD, tidak memfilter saran kerabat soal pengobatan Anto. Semua saran diterima, diterapkan, yang justru memperparah kondisi anak laki-lakinya yang tertekan. Anto merasa terbuang dan terhina.

Tak ada psikolog ataupun petugas medis yang paham betul menangani pasien dengan gangguan jiwa. Depresi berat yang diidapnya dianggap sebagai gila. Karena itu, Anto diberi obat skizofrenia.

Serangan depresi berat dialami pertama kali oleh laki-laki berkulit cokelat itu. Selama setahun, ia hidup dalam tekanan pikiran dan berusaha untuk meloloskan diri dari penyakit itu.

Semula dia ingin kuliah seusai lulus SMA dengan berniat jadi guru bahasa Inggris. Orangtuanya tidak mampu membiayai sehingga Anto harus bekerja supaya bisa membayar keperluannya sendiri, untuk melanjutkan pendidikan di salah satu universitas di Kediri.

Namun, ia tidak kuat menahan beban pekerjaan dan pendidikan ketika itu. Pekerjaannya terbengkalai, ia dikritik habis-habisan sampai memutuskan hengkang. Demikian pula dengan kuliahnya, tidak kalah berantakan.

"Akhirnya kuliah dan kerja sama-sama berhenti, saya tidak punya back up plan ketika itu," tutur dia mengenang titik terendah hidupnya.

Lebih dari tiga tahun, Anto berjuang sendiri melawan depresi beratnya. Seharusnya, kata dia, mendapat dukungan dari orangtua dan lingkungan sekitar. Tetapi saat itu, keinginan sembuh hanya datang dari dirinya.

Setiap hari, ia memotivasi diri sendiri dengan melawan gangguan yang bisa datang sewaktu-waktu. Terkadang putus asa muncul kembali, tetapi Anto kembali ingat soal kemauannya untuk hidup normal.

"Pada 2004, saya dinyatakan sembuh," ucap dia.

Dorongan dari dalam dirinya membuat laki-laki yang berdomisili di Tulungagung itu memutuskan untuk kuliah lagi. Kini, profesinya cukup banyak, mulai dari guru Bahasa Inggris, desainer batik, sampai diundang menjadi narasumber advokasi kesehatan jiwa.

Dia sadar gangguan jiwa bisa muncul dan kembali kambuh. Namun, Anto sudah punya cara untuk mengatasinya.

"Yang terpenting adalah sadar soal penyakit itu dan menerima sebagai ujian hidup yang harus dijalani serta memotivasi diri sendiri," kata dia yang pada akhir Oktober 2016 mengikuti fellowship tentang kesehatan jiwa di Melbourne dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial.

5 dari 7 halaman

Kisah Deni Dipasung hingga Berlumut

Deni Aditama dulu dikenal anak yang ramah dan periang di kampungnya. Keriangannya itu perlahan sirna ketika kedua orangtuanya berpisah.

Seiring bertambahnya usia, Deni dianggap dihinggapi gejala stres. Banyak perilaku dia yang berubah. Gara-gara inilah, pada usia 11 tahun, dia dikurung dalam ruangan khusus.

Hingga kini di usianya yang ke-35 tahun, Deni hanya menghabiskan waktunya di gubuk berukuran 2x2 meter, yang berada di depan rumah saudaranya, Kampung Waringin Jaya, RT 02 RW 06, Desa Waringin Jaya, Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Deni tak pernah keluar dari gubuk sempit itu sekalipun. Bahkan untuk buang air, harus dilakukan dalam gubuk samping kandang ayam itu. Tak heran bila bau tak sedap tercium menyengat dari gubuk itu.

Deni juga harus tidur di atas ubin bercampur tanah. Dinding bangunan yang sudah rapuh penuh tambalan lembaran seng, menjadi penghalang dari terpaan angin.

Deni diperlakukan tak lebih seperti binatang. Dari cara memberi makan hingga tidak pernah dimandikan selama puluhan tahun.

Pintu ruangan sempit itu selalu tertutup rapat. Angin hanya bisa masuk dari jendela ruangan yang dibuat seperti jeruji penjara, menggunakan besi bangunan.

Perilaku Deni berubah sejak kedua orangtuanya berpisah 31 tahun lalu.

"Mulai gejala stres saat dia berumur empat tahun," tutur Maya, saudara Deni, saat ditemui di rumahnya, Selasa 1 Maret 2016.

Sejak kecil, Deni memang kerap diperlakukan kurang baik oleh ayah kandungnya, Suganda. Bahkan, dia pernah dibuang ayahnya ke suatu tempat. Namun Deni akhirnya bisa pulang ke rumahnya.

"Memang dari kecil dia kayak kurang kasih sayang dari orangtuanya," ujar Maya.

Jika jiwanya sedang terganggu, Deni sering memanggil nama ayahnya kepada setiap pria yang melintas di depannya, hingga marah-marah dan mengamuk merusak barang-barang yang ada.

"Kalau sama anak kecil, galak. Suka ngejar-ngejar," kata Maya.

Alasan itulah yang menjadikan keluarga memasung Deni dalam gubuk yang sengaja dibangun di halaman depan rumah saudaranya. 

6 dari 7 halaman

Kisah Marsus Dipasung di Kandang Sempit

Gubuk kecil di lahan kosong menjadi tempat tinggal Marsus Yazid selama 35 tahun terakhir. Di tempat ini pria berusia 53 tahun itu hidup terpasung.

Seperti ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, Senin 5 Desember 2016, Marsus dipasung keluarganya sejak berumur 18 tahun karena menderita gangguan jiwa. Alasan keluarga memasung Marsus karena sering mengamuk, sehingga bisa membahayakan orang lain.

Di kandang sempit berukuran 1 x 1,5 meter itu Marsus tak bisa berdiri. Ia diberi makan oleh keluarga dan warga sekitar dari luar kandang. Sementara untuk buang air tak ada yang mengurusnya.

Kandang tempat Marsus dipasung hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumah tiga saudara kandungnya di Desa Agung Jaya, Kecamatan Way Kenanga, Tulang Bawang Barat, Lampung.

Selama sakit, keluarga hanya membawa Marsus berobat ke dukun atau paranormal. Marsus tak pernah dibawa ke rumah sakit dengan alasan tak ada biaya. 

7 dari 7 halaman

Eks Ketua Yayasan Yatim Dipasung 2 Tahun

Fadil, warga lingkungan Sambidongko, Kelurahan Cikerai, Kecamatan Cibeber, Kota Cilegon, Banten, dipasung kakinya menggunakan balok kayu besar dan dirantai besi, karena mengidap gangguan jiwa.

"Semenjak dua tahun lalu, anak saya mengalami gangguan jiwa. Padahal sebelumnya dia sehat-sehat saja," kata sang ibunda, Hamdiyah (50), saat ditemui di kediamannya, Selasa 1 Maret 2016.

Hamdiyah harus memasung sang anak karena ketiadaan biaya berobat ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Sementara hingga kini belum ada RSJ di Provinsi Banten.

Sembari berlinang air mata, Hamdiyah menuturkan sang anak kerap mengamuk dan mengganggu warga sekitar. Demi alasan keamanan masyarakat, dia terpaksa memasung sang anak yang berumur 32 tahun itu.

"Tega enggak tega sebenarnya harus memasung anak. Saya enggak punya uang untuk mengobati Fadil ke rumah sakit. Ya, paling diobati ke orang pinter," kata dia.

Fadli semasa sehatnya pernah memiliki yayasan yatim piatu bernama Yayasan Al Fatah. Namun, ia mendadak kurang waras tanpa diketahui alasannya oleh istri maupun orangtuanya.

Fadli yang dipasung di ruangan permanen berlantai keramik itu, sehari-hari mengenakan sarung dan bertelanjang dada. Sesekali dia menyanyikan lagu yang tak jelas milik siapa.

Lurah Cikerai, Astri, mengakui kondisi warganya yang terkena gangguan jiwa. Ia kini berkoordinasi dengan Dinsos dan Dinkes agar bisa mengobati Fadli.

"Akan tetapi itu tergantung pihak keluarganya, boleh tidak dirawat," kata Astri.

Sementara, Gubernur Banten Rano Karno, telah memprogramkan Banten Bebas Pasung pada 2019. Program itu lebih lambat dari target Kemensos yang menghendaki Indonesia Bebas Pasung pada 2017.

Kepala Seksi (Kasie) Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas dan Eks Penyakit Kronis M Noor mengatakan, penanganan orang dengan gangguan jiwa di Banten kini mengandalkan Puskesmas. Jika kondisinya parah, ia menyarankan dibawa ke RSUD Banten mengingat ketiadaan rumah sakit jiwa (RSJ).

"Kita juga kerja sama dengan yang namanya Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL). Sebenarnya itu untuk penyembuhan pengguna narkoba. Karena enggak ada tempat lain, makanya kita bawa ke sana," kata Noor saat ditemui di ruangan kerjanya, Senin 1 Maret 2016.

Banten kini memiliki empat IPWL, yakni Yayasan Bani Syifa, Yayasan Hikmah Sa'adah, Yayasan Nurul Rohmah, dan Yayasan Dira Sumantri Wintoha.

Sedangkan, jumlah penderita pasung pada 2015 adalah Kabupaten Lebak 15 orang, Kabupaten Pandeglang 18 orang, Kabupaten Serang 58 orang, dan Kota Serang 3 orang. 

Â