Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menjenguk Fahmi Darmawansyah di Rutan Guntur. Suami artis Inneke Koesherawati yang juga bendahara MUI ini mendekam di penjara setelah ditahan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) terkait kasus suap proyek pengadaan satelit pemantauan di Bakamla (Badan Keamanan Laut).
"Yang saya tau, Pak Fahmi cerita kalau dia ada proyek untuk bantu negara," kata Din Syamsuddin usai mendapatkan surat izin untuk menjenguk Fahmi dan juga Irman Gusman, Jakarta, Kamis (29/12/2016).
Menurut Din, penetapan tersangka Fahmi terlalu terburu-buru. Sebab, saat operasi tangkap tangan, Fahmi berada di luar negeri.
"Pak Fahmi saat itu sedang liburan dengan keluarganya di Eropa," kata Din Syamsuddin.
Tak hanya itu, menurut Din kasus ini hanya kesalahan anak buah Fahmi yang merembet dan menyeret pengusaha itu.
"Dia bilang cuma mau bantu negara, ada proyek gitu, tapi belum selesai," kata Din mengulangi apa yang diucapkan Fahmi kepada dirinya soal proyek Bakamla.
Din menceritakan kebiasaan Fahmi pada anak buahnya. Menurut Din, kebiasaan itulah yang barangkali membuat bendahara MUI hasil Munas di Surabaya tahun lalu, menjadi tersangka suap.
"Pak Fahmi biasa kasih cek kosong pada anak buahnya. Dia percaya, saya yakin ini hanya kesalahan anak buahnya dalam prosedur," lanjut Din.
Advertisement
Dia yakin, jika Fahmi tak bersalah. Secara tegas, Din tak menyatakan pembelaannya pada Fahmi. Namun, Din bercerita soal penegakan hukum yang kadang bisa dipesan.
"Saya meyakini Pak Fahmi orang baik, dia pengusaha yang mau bantu negara," ucap Din.
Perkiraan Din tak serupa dengan fakta yang didapati penyidik KPK. Fahmi, diduga mengetahui segala tetek bengek proses pelelangan tender. Sehingga ia diduga memanfaatkan beberapa celah kebijakan pemerintah agar perusahaan miliknya menang tender.
Atas dasar itu, KPK meminta Fahmi menjadi saksi untuk tersangka Eko Susilo Hadi. Fahmi dituduh KPK memberi suap pada Deputi Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla Edi Susilo Hadi.
Menurut KPK, Fahmi dan dua karyawan PT MTI (Melati Technofo Indonesia), Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus, diduga memberi uang pelicin agar mereka menang tender proyek pengadaan satelit pemantauan di Bakamla.