Pemikiran andai pria berselingkuh, maka perempuan juga boleh melakukan hal yang sama adalah salah. Emansipasi diartikan bahwa perempuan boleh memiliki hak yang sama dengan pria, sehingga jangan melanggar hak masing-masing, baik sebagai pria maupun perempuan.
Liputan6.com, Jakarta: Pepatah sering mengatakan bahwa di balik keberhasilan seorang pria, setidaknya ada dua perempuan yang turut mengambil peran penting, yakni ibu dan sang istri. Ini berarti perempuan begitu penting keberadaannya dalam sebuah keluarga. Baik perempuan itu sendiri maupun anggota keluarga lainnya harus memahami peran yang dijalankan kaum hawa dalam keluarga. Kekurangpahaman dalam memahami peran perempuan akan berdampak cukup fatal bagi seluruh keluarga. Sebaliknya, apabila seorang perempuan dapat memainkan perannya dengan benar, maka keluarga yang tercipta akan harmonis.
Sejak dahulu kala, perempuan telah diarahkan menjalankan tugas-tugas yang berhubungan dengan rumah. Sementara, kaum pria pada masa lalu pergi berburu atau mencari nafkah. sistem pembagian kerja seperti ini kemudian dibenarkan oleh agama dan adat istiadat atas nama kodrat.
Akibat ketimpangan ini, perempuan hanya berperan sebagai pengurus rumah tangga dan anak, sedangkan laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Padahal, menurut psikolog Ratih Andjayani Ibrahim, di dalam sebuah keluarga, peran untuk mengasuh anak tak bisa hanya dilakukan oleh perempuan. Namun, harus ada campur tangan pria di dalamnya. "Sekuat-kuatnya perempuan, pasti membutuhkan seorang pria di sampingnya," ujar Ratih ketika ditemui Liputan6.com di kediamannya di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Ratih memaparkan, keberhasilan seorang anak itu ditentukan oleh pola asuh dari kedua orangtuanya. Jadi tidak bisa hanya seorang ayah atau ibunya yang mengasuh. "Walaupun di beberapa situasi, orangtua yang single parent bisa mengasuh anaknya dengan baik sehingga anaknya bisa sukses," jelas dia.
Jika dilihat dari isu gender, dulu dari segi ideologi dan agama, pria memang ditempatkan lebih tinggi. Hingga akhirnya pria adalah pengambil keputusan di dalam keluarga. Hanya saja, masih menurut Ratih, sekarang hal itu sudah berubah di zaman sekarang. Dan, muncullah yang disebut emansipasi perempuan. "Di sini perempuan ingin ikut berperan dalam hal pengambilan keputusan dalam rumah tangga," urai Ratih.
Psikolog penganut paham feminis ini berpendapat bahwa emansipasi lahir dari kumpulan surat-surat Kartini yang menginspirasi banyak perempuan. Melalui suratnya, Kartini berupaya menyadarkan perempuan bahwa mereka punya hak untuk bersuara memberikan pendapat di dalam kehidupan rumah tangga. "Perempuan itu memiliki daya dan tidak lemah, serta yang paling penting, perempuan patut untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan pria."
Namun, imbuh Ratih, emansipasi sekarang ini banyak yang disalahartikan. Andai pria berselingkuh, maka perempuan juga boleh melakukan hal yang sama. Pemikiran seperti ini tidak boleh dibiarkan berkembang di kehidupan masyarakat. Emansipasi diartikan bahwa perempuan boleh memiliki hak yang sama dengan pria. Hanya saja, jangan melanggar hak masing-masing, baik sebagai pria maupun perempuan.
Intinya adalah, sekarang ini perempuan tidak bisa ditempatkan hanya di dapur dan mengurus anak. Namun, perempuan mempunyai hak menyatakan pendapat dan mengambil keputusan. Dalam membina sebuah keluarga, pria dan perempuan sama-sama memiliki peran dan tanggung jawab yang setara. Di zaman sekarang ini, pria juga harus bisa mengurus anak, membersihkan rumah, bahkan belanja kebutuhan rumah tangga.
Pun demikian perempuan. Kartini-Kartini modern harus bisa bekerja untuk mencari nafkah membantu perekonomian keluarga. Dan mengakhiri perbincangan, Ratih menandaskan bahwa perubahan nilai-nilai di zaman Kartini dulu sudah banyak berubah. Dengan kata lain, kini perempuan tidak dipingit di dalam rumah dan hanya mengurus urusan rumah. "Perempuan itu sangat berharga sebagai ibu ataupun sebagai istri, sehingga suami dan anak-anaknya harus menghargai perempuan," pungkas Ratih.(ANS)