Sukses

"Quo Vadis" Kasus Bibit-Chandra?

Kita agak heran dengan putusan praperadilan yang tidak memposisikan beberapa hal secara tepat. Misalnya, memposisikan Anggodo sebagai saksi korban.

Zainal Arifin Mochtar

Siapapun pasti masih ingat perkara Bibit S. Rianto-Chandra Hamzah, dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Di kasus tersebut, tersebutlah nama Anggodo Widojo karena dugaan melakukan rekayasa yang menyeret kriminalisasi Bibit dan Chandra. Ia makin terkenal seiring rekaman yang diputar di Mahkamah Konstitusi. Siapapun yang mendengar rekaman tersebut paham, Anggodo memang punya "kekuasaan" luar biasa besar. Semuan tunduk dan dapat diperintah oleh Anggodo. Akhirnya, Bibit dan Chandra waktu itu sempat menjadi tersangka bahkan ditahan.

Setelah rekaman di putar di MK pada awal November 2009, keyakinan seluruh masyarakat bahwa ada kriminalisasi atas Bibit-Chandra menguat. Atas alasan itulah, jutaan masyarakat Indonesia menggalang kekuatan sejuta facebookers. Intinya menganggap bahwa ada yang salah dari kasus tersebut. Bibit-Chandra tidak seharusnya diproses secara hukum untuk kesalahan yang tidak mereka lakukan. Presiden SBY bahkan secara tegas menyatakan bahwa menghentikan perkara Bibit-Chandra akan lebih baik dan menjamin kemaslahatan bersama.

Mudah ditebak, dari hal inilah Kejaksaan lalu mengeluarkan SKPP yang merupakan keputusan penghentian perkara: menghentikan perkara Bibit dan Chandra berkaitan dengan alasan sosiologis. SKPP inilah yang sekarang dipraperadilankan dan akhirnya dibatalkan pengadilan. Pertanyaan yang lalu menguat, quo vadis kasus Bibit-Chandra?

Keanehan

Sebelum bicara tentang quo vadis masalah Bibit-Chandra, penting untuk memetakan beberapa keanehan dalam proses praperadilan. Terkhusus, perihal teknis hukum. Kita agak heran dengan putusan praperadilan yang tidak memposisikan beberapa hal secara tepat. Misalnya, memposisikan Anggodo sebagai saksi korban. Tentu pertanyaan terbesarnya adalah apa alasan menempatkan Anggodo sebagai saksi korban yang memiliki legal standing untuk melakukan praperadilan.

Masih perihal teknis hukum, jika dibaca putusan praperadilan terasa ada yang janggal. Ahli yang didengar keahliannya dan mayoritas menjadi pendapat sang hakim di dalam putusan tersebut adalah ahli-ahli yang kita kenal sebagai ahli dari pihak kepolisian. Tentu tidak bermaksud meragukan keahlian mereka. Tapi, para ahli ini adalah ahli yang selama ini berposisi sebagai ahli dari Kepolisian yang kita ketahui sangat kuat mendorong kasus Bibit-Chandra. Menjadi mengherankan karena mengapa tidak dibuat secara lebih berimbang? Ada baiknya, tidak hanya mendengarkan ahli dalam satu koridor saja. Pendekatan multikoridor menjadi penting untuk mendapatkan perspektif keahlian yang lengkap.

Tidak kalah menariknya adalah putusan praperadilan yang terkesan terburu-buru langsung mengatakan bahwa dengan putusan tersebut maka kasus Bibit-Chandra dilimpahkan ke pengadilan. Hakim praperadilan seharusnya mengingat bahwa hakikat dari praperadilan adalah menguji keabsahan dari SKPP, termasuk dari sisi keabsahan alasan penghentian. Putusan seharusnya tidak perlu melangkah terlalu jauh, tapi hanya menyimpulkan perihal absah atau tidaknya dikeluarkannya SKPP tersebut.

Keanehan yang niscaya makin lengkap dengan model-model berpikir secara sangat formalistik. Dunia ini seakan bisa tegak dengan keadilan yang harus tertulis dan berdasarkan aturan perundang-undangan. Padahal, hakim seharusnya beyond dari semua aturan perundang-undangan. Hakim harusnya menjadi "wakil Tuhan" di muka bumi untuk menyebarkan aroma keadilan. Aroma keadilan yang bisa diterjemahkan demi keadilan itu sendiri dan bukan hanya demi keadilan berdasarkan apa yang dituliskan di aturan undang-undang.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Tapi apapun pendapat di atas, fakta mengatakan bahwa SKPP kasus Bibit-Chandra dinyatakan tidak absah. Tentu, ada yang harus dilakukan dan dikreasikan oleh pihak-pihak yang merasa bahwa penegakan hukum subtantif harus dilakukan atas perkara ini. Ada beberapa langkah yang bisa dikreasikan untuk mendorong penyelesaiannya, yakni:

Pertama, Kejaksaan dapat melakukan permohonan banding ke pengadilan tinggi. Banding tentu saja menjadi penting untuk meluruskan logika yang telah dilakukan oleh jaksa dengan mengeluarkan SKPP. Logika yang seharusnya lurus. Sedari awal mengeluarkan SKPP, logika mengeluarkan SKPP ini harus dipertahankan. Hanya, dalam menyusun memori banding, Kejaksaan harus memperbaiki kemampuan dan kemauan untuk menjelaskan alasan dikeluarkannya SKPP tersebut. Mohon diperhatikan, saya tulis, kemampuan dan kemauan. Memori banding ini harus secara jeli memperlihatkan bukan saja kemampuan untuk menjelaskan, namun juga kemauan untuk menghentikan perkara. Ini menjadi penting untuk memosisikan bahwa penghentian memang sudah benar adanya.

Jika kemudian dalam banding ditolak pengadilan, ini bisa menjadi jalan bagi kejaksaan untuk mengeluarkan SKPP dengan alasan lain, selain alasan sosiologis. Memang, hal ini masih sangat debatable. Tapi yang saya bayangkan dari proses ini adalah praperadilan telah menyatakan ketidaktepatan menggunakan alasan sosiologis. Karena itu Kejaksaan melakukan perbaikan dengan mengeluarkan SKPP dengan alasan yang lebih tepat, misalnya tidak cukup bukti. Bisakah hal ini dilakukan? Biarkan pro dan kontra atau pengembangan ilmu hukum yang menjelaskannya kemudian.

Kedua, Jaksa Agung dapat mengenyampingkan (deponeering) perkara dengan menggunakan asas oportunitas. Hanya, meski ini sangat potensial untuk menghentikan perkara, bukan berarti deponeering merupakan solusi terbaik. Memang, pascadeponeering, kasus ini bahkan tidak bisa dibuka kembali. Harus diingat, bahwa dari deponeering, berkas dianggap lengkap namun dihentikan demi kepentingan umum. Bahayanya akan luar biasa.

Yang utama adalah masyarakat akan dibingungkan soal bersalah atau tidaknya Bibit-Chandra. Berkas dianggap lengkap, tapi dihentikan demi kepentingan umum, akan menyiratkan pesan seakan-akan Bibit-Chandra telah lengkap bukti-bukti keterlibatan dalam pelanggaran hukum. Saya yakin, sejuta facebookers akan mengalami disorientasi. Sejuta facebookers dan dukungan seluruh masyarakat meyakini bahwa kasus ini tidak ada, yang ada hanya rekayasa pihak tertentu. Jika kemudian deponeering menganggap ada, tentu menjadi catatan yang tidak terlalu menyenangkan buat penegakan hukum.

Kemungkinan ketiga adalah perkara dilanjutkan ke proses pengadilan. Proses peradilan akan menjelaskan secara detail mengenai bersalah atau tidaknya Bibit-Chandra, termasuk pantas atau tidaknya mereka dikenai sanksi.
 
Tentu, semua langkah tersebut terbuka. Tinggal apa yang mau dipilih, bukan hanya oleh Kejaksaan tapi juga oleh Bibit-Chandra sendiri. Terkhusus ke Bibit-Chandra, tentu kita persilakan untuk memilih langkah-langkah yang diinginkan. Tapi jangan sampai pragmatisme menjadi hal utama. Jangan sampai sekadar mau menghentikan perkara. Karena jika sekadar itu, sangat berpotensi mereduksi makna perjuangan penegakan hukum. Seluruh dukungan masyarakat termasuk sejuta facebookers, tentu bukan sekadar agar perkara ini berhenti. Tapi, demi penegakan hukum subtantif yang mampu mengejar semua yang terlibat dalam mengkriminalisiasi mereka.


Penulis adalah pengajar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum UGM Yogyakarta dan Direktur PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta.

    Video Terkini