Liputan6.com, Toba Samosir: Jam sekolah sudah usai. Baju seragam pun telah berganti dengan baju beraneka warna. Di Sekolah Dasar 01 HKBP Balige, Toba Samosir, Sumatra Utara, terlihat anak-anak mengenakan Ulos, kain khas Batak.
Ternyata mereka sedang berlatih Martumba, tari khas Batak yang biasa dilakukan anak-anak di malam hari, terutama saat terang bulan. Suasana gembira masa kecil tercipta saat anak-anak menari sambil menyanyi. Biasanya dilakukan berpasang-pasangan dengan gerakan-gerakan yang sarat pesan.
Martumba menjadi salah satu jenis lomba menyambut ulang tahun TB Silalahi Center. Yaitu, institusi seni dan budaya yang didirikan mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara TB Silalahi. Beragam lomba pun digelar untuk melestarikan budaya Batak pada anak-anak muda.
Selain Martumba, ada lomba Mangandung. Dalam seni Batak, andung-andung dikenal sebagai senandung jiwa yang menggunakan bahasa Batak halus dan lembut. Dulu sering dinyanyikan ibu-ibu penganyam tikar sambil mengunyah daun sirih yang diolesi kapur bercampur tembakau dan biji pinang.
Tema lomba kali ini adalah kesedihan akan lunturnya budaya Batak di kalangan anak muda. Seruling Sitorus, salah seorang peserta tampak menghayati nyanyian andung. Air matanya pun tumpah.
Ada pula Rachel Siahaan, gadis berusia 13 tahun yang menyanyi Andung berisi kesedihan kerusakan lingkungan di Danau Toba. Apresiasi berdatangan. Sebab tak banyak anak sebelia Rachel yang sudah mengenal Mangandung.
Sementara sekelompok anak muda dari SMKN 1 Balige dengan semangat berlatih Tor-Tor, tarian khas etnis Toba. Murid-murid itu bersiap latihan dengan kain Ulos dililitkan di pinggang, seperti sarung, ikat kepala yang disebut tali-tali, dan selendang atau sampe-sampe.
Pakem gerakan Tor-Tor memiliki arti tertentu tergantung tujuan. Bisa untuk suka cita, menghormati seseorang, atau menyembah Tuhan. Menurut sejarah, tari ini digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh. Namun kini, Tor-Tor hanya menjadi perangkat budaya adat orang Batak.
Kelompok Sisada Tahi atau satu hati mencoba menjawab tantangan tersebut. Kelompok ini berada di jalur independen karena tidak mewakili institusi sekolah. Hal itu dilakukan sebagai bentuk protes pada pemerintah kabupaten yang dianggap tidak mau menghargai budayanya sendiri. Tak sia-sia, berbekal teknik Tor-Tor yang baik, kelompok independen ini meraih juara satu lomba Tor-Tor ulang tahun TB Silalahi Center.
Salah satu jenis Tor-Tor adalah Tunggal Panaluan yang dulunya ditarikan oleh para dukun. Tongkat Panaluan dipercaya sebagai tongkat sakti untuk menghindari desa dari musibah. Atraksi berjalan di atas api disajikan sebagai tanda kesaktian sang dukun. Sedangkan gerakan penuh makna, misalnya saat penari perempuan menengadahkan kedua tangan di atas pundak melambangkan sang perempuan siap menerima tanggung jawab dan mandiri.
Jenis Tor-Tor lain adalah Tor-Tor Sipitu Cawan atau tari tujuh cawan yang biasa digelar saat pengukuhan seorang raja. Tari ini mengisahkan tujuh putri khayangan yang mandi di sebuah telaga di puncak Gunung Pusuk Buhit. Butuh kemampuan yang lebih untuk memainkan tarian ini.
Sebagai tokoh Batak, TB Silalahi merasa puas dan terharu melihat antusiasme anak-anak pewaris budaya bangsa. Upaya melestarikan budaya memang tidak boleh berhenti. Langkah kecil dari putra-putra daerah bisa bermakna besar dalam menjaga pelestarian budaya bangsa agar tak lekang oleh jaman.(TES/SHA)
Ternyata mereka sedang berlatih Martumba, tari khas Batak yang biasa dilakukan anak-anak di malam hari, terutama saat terang bulan. Suasana gembira masa kecil tercipta saat anak-anak menari sambil menyanyi. Biasanya dilakukan berpasang-pasangan dengan gerakan-gerakan yang sarat pesan.
Martumba menjadi salah satu jenis lomba menyambut ulang tahun TB Silalahi Center. Yaitu, institusi seni dan budaya yang didirikan mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara TB Silalahi. Beragam lomba pun digelar untuk melestarikan budaya Batak pada anak-anak muda.
Selain Martumba, ada lomba Mangandung. Dalam seni Batak, andung-andung dikenal sebagai senandung jiwa yang menggunakan bahasa Batak halus dan lembut. Dulu sering dinyanyikan ibu-ibu penganyam tikar sambil mengunyah daun sirih yang diolesi kapur bercampur tembakau dan biji pinang.
Tema lomba kali ini adalah kesedihan akan lunturnya budaya Batak di kalangan anak muda. Seruling Sitorus, salah seorang peserta tampak menghayati nyanyian andung. Air matanya pun tumpah.
Ada pula Rachel Siahaan, gadis berusia 13 tahun yang menyanyi Andung berisi kesedihan kerusakan lingkungan di Danau Toba. Apresiasi berdatangan. Sebab tak banyak anak sebelia Rachel yang sudah mengenal Mangandung.
Sementara sekelompok anak muda dari SMKN 1 Balige dengan semangat berlatih Tor-Tor, tarian khas etnis Toba. Murid-murid itu bersiap latihan dengan kain Ulos dililitkan di pinggang, seperti sarung, ikat kepala yang disebut tali-tali, dan selendang atau sampe-sampe.
Pakem gerakan Tor-Tor memiliki arti tertentu tergantung tujuan. Bisa untuk suka cita, menghormati seseorang, atau menyembah Tuhan. Menurut sejarah, tari ini digunakan dalam acara ritual yang berhubungan dengan roh. Namun kini, Tor-Tor hanya menjadi perangkat budaya adat orang Batak.
Kelompok Sisada Tahi atau satu hati mencoba menjawab tantangan tersebut. Kelompok ini berada di jalur independen karena tidak mewakili institusi sekolah. Hal itu dilakukan sebagai bentuk protes pada pemerintah kabupaten yang dianggap tidak mau menghargai budayanya sendiri. Tak sia-sia, berbekal teknik Tor-Tor yang baik, kelompok independen ini meraih juara satu lomba Tor-Tor ulang tahun TB Silalahi Center.
Salah satu jenis Tor-Tor adalah Tunggal Panaluan yang dulunya ditarikan oleh para dukun. Tongkat Panaluan dipercaya sebagai tongkat sakti untuk menghindari desa dari musibah. Atraksi berjalan di atas api disajikan sebagai tanda kesaktian sang dukun. Sedangkan gerakan penuh makna, misalnya saat penari perempuan menengadahkan kedua tangan di atas pundak melambangkan sang perempuan siap menerima tanggung jawab dan mandiri.
Jenis Tor-Tor lain adalah Tor-Tor Sipitu Cawan atau tari tujuh cawan yang biasa digelar saat pengukuhan seorang raja. Tari ini mengisahkan tujuh putri khayangan yang mandi di sebuah telaga di puncak Gunung Pusuk Buhit. Butuh kemampuan yang lebih untuk memainkan tarian ini.
Sebagai tokoh Batak, TB Silalahi merasa puas dan terharu melihat antusiasme anak-anak pewaris budaya bangsa. Upaya melestarikan budaya memang tidak boleh berhenti. Langkah kecil dari putra-putra daerah bisa bermakna besar dalam menjaga pelestarian budaya bangsa agar tak lekang oleh jaman.(TES/SHA)
Error loading player:
No playable sources found