Liputan6.com, Kutai: Penantian masyarakat Kutai akan seorang raja berakhir sudah. Baru-baru ini, Haji Muhammad Salahuddin II dinobatkan dalam serangkaian upacara adat atau disebut Erau. Menjelang pengangkatan Salahuddin II, rakyat Kutai tak mampu menyebunyikan suka cita. Buktinya, sepanjang hari dan malam, kemeriahan tampak di Kota Tenggarong, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Panji kebesaran Kerajaan Kutai pun berkibar kembali. Lantas, raja yang akan dinobatkan mengutus abdinya. Mereka mengantar jamuan ke rakyat yang tengah bekerja keras. Agar jamuan itu diberkahi dewa, para utusan memanjatkan mantra.
Selain memberikan jamuan, para abdi diutus untuk mengambil air berkah di muara Sungai Mahakam yang terletak di Desa Anggana. Soalnya, masyarakat Kutai percaya di muara Sungai itu, dahulu sebagai tempat raja pertama Kutai Kertanegara Agi Batara Agung Dewa Sakti menikahi Putri Karang Melenu. Putri kala itu datang dengan seekor naga dan hewan yang disebut Lembasuara. Air yang diambil kemudian diserahkan ke raja.
Karena raja dianggap sebagai keturunan Dewa, maka para utusannya juga diyakini memiliki darah yang sama. Untuk itu, para utusan ini juga bertugas sebagai perantara antara manusia dan alam gaib. Tugas sebagai penghubung ini, antara lain tampak pada hari-hari menjelang upacara penobatan raja. Selama tiga hari berturut-turut, mereka melaksanakan ritual. Tujuannya, untuk meminta penghuni alam gaib tak mengganggu upacara Erau.
Di dalam istana, calon raja juga mempersiapkan diri menghadapi penobatan. Dia dimandikan seorang dukun dengan air kembang tujuh rupa. Tujuannya, untuk membersihkan diri raja dari dosa. Seluruh sanak keluarga raja juga dikumpulkan untuk menyantap 40 rupa makanan sebagai tanda syukur atas berkah dewa. Proses penobatan pun dimulai. Awalnya, sejumlah kerabat istana mendirikan tiang alu. Selanjutnya, sejumlah benda pusaka dihadirkan di tempat upacara. Gong Putri Karang Melenu, misalnya, diletakkan di pangkal tiang alu.
Menurut adat Kutai, seorang raja baru sah menjadi raja jika telah mengenakan kalung uncau, ketopong pusaka, dan keris guritka milik Raja Kertanegara Agi Batara Agung Dewa Sakti. Setelah mengenakan perangkat itu, resmilah Haji Muhammad Salahuddin II menjadi Raja Kutai. Tahta itu kosong setelah pemerintah Indonesia menghapus Kerajaan Kutai pada 1959. Soalnya, Raja Kutai kala itu Parikesit mendukung pemerintah Belanda melawan pejuangan Indonesia. Beralasan memang jika Parikesit mendukung Belanda. Sebab, Belanda-lah yang membangun istana Kerajaan Kutai. Pembangunan itu sebagai hadiah dari kerelaan Raja Kutai memberikan penguasaan penarikan pajak kepada Belanda.
Kerajaan Kutai didirikan di Muarakama oleh Kudungga, seorang bangsawan India pada abad keempat masehi. Kerajaan ini juga pernah menjalin hubungan dengan Cina berabad-abad silam. Hal itu tampak pada yupa batu tempat memotong hewan untuk upacara. Yupa batu itu kini berbaur dengan makam-makam saudagar Islam yang datang berabad-abad kemudiaan. Karena terpengaruh Majapahit, Kutai berubah nama menjadi Kutai Kertanegara. Pusat kerajaan pun berpindah ke Kota Tenggarong yang berarti rumah raja. Setelah simbol kerajaan dihapus pemerintah Indonesia, praktis simbol budaya dan masa silam itu lenyap. Istana Raja Kutai pun diubah menjadi museum budaya dan simbol masa silam.
Belakangan pemerintah memberikan kesempatan kepada keturunan Raja Kutai mengembangkan budaya mereka. Tujuannya, untuk menjadikan budaya sebagai bagian dari pariwisata Kota Tenggarong. Atas dasar itulah, Haji Muhammad Salahuddin II dinobatkan sebagai raja. Selepas penobatan, Salahuddin II menggelar upacara untuk memohon restu para Dewa, meski keturunan Raja Kutai sudah berabad-abad silam memeluk agama Islam. Upacara yang melambangkan kemuliaan dan kekuatan raja ini digelar selama tujuh hari tujuh malam.
Terakhir, Salahuddin II melangsungkan upacara mengulur naga. Para utusan raja membawa replika naga mengarungi sungai Anggono. Saat itu pula Raja Salahuddin II mengukuhkan sumpah ditandai dengan penyembelihan ayam. Maksudnya, jika raja tak menjalankan amanat dia akan seperti ayam tadi. Karena naga itu dianggap sebagai pembawa berkah, maka kain yang dikenakan diambil masyarakat Kutai untuk dijadikan jimat. Di tengah hiruk-pikuk upacara itu ternyata masih banyak yang tak peduli. Orang Dayak yang menghuni Sungai Mahakam, misalnya. Begitu pula buruh tambang minyak di Kutai. Mungkin, mereka sudah terbiasa tanpa raja.(AWD/Tim Potret)
Selain memberikan jamuan, para abdi diutus untuk mengambil air berkah di muara Sungai Mahakam yang terletak di Desa Anggana. Soalnya, masyarakat Kutai percaya di muara Sungai itu, dahulu sebagai tempat raja pertama Kutai Kertanegara Agi Batara Agung Dewa Sakti menikahi Putri Karang Melenu. Putri kala itu datang dengan seekor naga dan hewan yang disebut Lembasuara. Air yang diambil kemudian diserahkan ke raja.
Karena raja dianggap sebagai keturunan Dewa, maka para utusannya juga diyakini memiliki darah yang sama. Untuk itu, para utusan ini juga bertugas sebagai perantara antara manusia dan alam gaib. Tugas sebagai penghubung ini, antara lain tampak pada hari-hari menjelang upacara penobatan raja. Selama tiga hari berturut-turut, mereka melaksanakan ritual. Tujuannya, untuk meminta penghuni alam gaib tak mengganggu upacara Erau.
Di dalam istana, calon raja juga mempersiapkan diri menghadapi penobatan. Dia dimandikan seorang dukun dengan air kembang tujuh rupa. Tujuannya, untuk membersihkan diri raja dari dosa. Seluruh sanak keluarga raja juga dikumpulkan untuk menyantap 40 rupa makanan sebagai tanda syukur atas berkah dewa. Proses penobatan pun dimulai. Awalnya, sejumlah kerabat istana mendirikan tiang alu. Selanjutnya, sejumlah benda pusaka dihadirkan di tempat upacara. Gong Putri Karang Melenu, misalnya, diletakkan di pangkal tiang alu.
Menurut adat Kutai, seorang raja baru sah menjadi raja jika telah mengenakan kalung uncau, ketopong pusaka, dan keris guritka milik Raja Kertanegara Agi Batara Agung Dewa Sakti. Setelah mengenakan perangkat itu, resmilah Haji Muhammad Salahuddin II menjadi Raja Kutai. Tahta itu kosong setelah pemerintah Indonesia menghapus Kerajaan Kutai pada 1959. Soalnya, Raja Kutai kala itu Parikesit mendukung pemerintah Belanda melawan pejuangan Indonesia. Beralasan memang jika Parikesit mendukung Belanda. Sebab, Belanda-lah yang membangun istana Kerajaan Kutai. Pembangunan itu sebagai hadiah dari kerelaan Raja Kutai memberikan penguasaan penarikan pajak kepada Belanda.
Kerajaan Kutai didirikan di Muarakama oleh Kudungga, seorang bangsawan India pada abad keempat masehi. Kerajaan ini juga pernah menjalin hubungan dengan Cina berabad-abad silam. Hal itu tampak pada yupa batu tempat memotong hewan untuk upacara. Yupa batu itu kini berbaur dengan makam-makam saudagar Islam yang datang berabad-abad kemudiaan. Karena terpengaruh Majapahit, Kutai berubah nama menjadi Kutai Kertanegara. Pusat kerajaan pun berpindah ke Kota Tenggarong yang berarti rumah raja. Setelah simbol kerajaan dihapus pemerintah Indonesia, praktis simbol budaya dan masa silam itu lenyap. Istana Raja Kutai pun diubah menjadi museum budaya dan simbol masa silam.
Belakangan pemerintah memberikan kesempatan kepada keturunan Raja Kutai mengembangkan budaya mereka. Tujuannya, untuk menjadikan budaya sebagai bagian dari pariwisata Kota Tenggarong. Atas dasar itulah, Haji Muhammad Salahuddin II dinobatkan sebagai raja. Selepas penobatan, Salahuddin II menggelar upacara untuk memohon restu para Dewa, meski keturunan Raja Kutai sudah berabad-abad silam memeluk agama Islam. Upacara yang melambangkan kemuliaan dan kekuatan raja ini digelar selama tujuh hari tujuh malam.
Terakhir, Salahuddin II melangsungkan upacara mengulur naga. Para utusan raja membawa replika naga mengarungi sungai Anggono. Saat itu pula Raja Salahuddin II mengukuhkan sumpah ditandai dengan penyembelihan ayam. Maksudnya, jika raja tak menjalankan amanat dia akan seperti ayam tadi. Karena naga itu dianggap sebagai pembawa berkah, maka kain yang dikenakan diambil masyarakat Kutai untuk dijadikan jimat. Di tengah hiruk-pikuk upacara itu ternyata masih banyak yang tak peduli. Orang Dayak yang menghuni Sungai Mahakam, misalnya. Begitu pula buruh tambang minyak di Kutai. Mungkin, mereka sudah terbiasa tanpa raja.(AWD/Tim Potret)