Sukses

Ketika Media Sosial Jadi 'Senjata' PKL di Kota Tua

Para PKL nakal di Kota Tua kerap kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP dan memiliki bekingan kuat, sehingga sulit ditertibkan.

Liputan6.com, Jakarta Kecanggihan teknologi bisa dimanfaatkan untuk apa saja. Bahkan, melakukan kejahatan yang terorganisir. Seperti kelompok pedagang kaki lima nakal di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat.

Mereka tak pernah jera. Razia rutin selalu gagal belakangan ini. Hanya satu dua yang tertangkap. Bukan operasi yang bocor, tapi mereka seolah memiliki 'pancingan'. Biar tertangkap satu gerobak, asal puluhan lainnya selamat.

"Mereka ini terorganisir, kami sudah menertibkan ratusan kali, tapi beberapa waktu ini mereka sudah sulit ditertibkan, banyak yang lolos," keluh Kepala Satpol PP Jakarta Barat Tamo Sijabat kepada Liputan6.com di Kota Tua, Jakarta Barat, Rabu 4 Januari 2017.

Setelah mengamati pola aneh dari para pedagang nakal yang tak mau berjualan sesuai tempatnya, Tamo mencurigai ada sesuatu. Sejak tiga bulan terakhir, pihaknya akhirnya menemukan fakta menarik.

Para PKL nakal yang memperburuk kondisi di Kota Tua itu, punya cara modern menghindari kejaran penegak Peraturan Daerah (Perda). Mereka memanfaatkan media sosial untuk berkomunikasi.

"Walau pun kita sering melakukan penertiban tapi PKL tetap saja berupaya masuk. Mereka punya grup WA (WhatsApp), sehingga bisa berkomunikasi dengan cepat kapan harus masuk dan kapan harus ngumpet," Tamo menjelaskan.

Saat Satpol PP dan petugas gabungan merazia secara mendadak, yang tertangkap hanya belasan orang. Puluhan lainnya melarikan diri dengan dagangannya. Sejatinya, sudah disediakan tempat berdagang di Kota Tua, persisnya kawasan Cengkeh.

Keberadaan pedagang nakal ini tak hanya mematikan usaha pedagang yang tertib. Mereka juga mengotori kawasan dan menyuburkan praktik pungli. Tamo tak bisa banyak berbuat. Ia sudah berkoordinasi dengan berbagai pihak, tapi PKL nakal di Kota Tua diduga punya bekingan kuat.

"Memang begitu terus, makanya susah diberantas. Apalagi mereka punya sponsor atau donatur. Jangan kaget, begitu diangkut barang dagangannya sore ini, besok mereka sudah punya gerobak baru lengkap dengan isi dagangannya dikasih sama sponsornya," ungkap Tamo.

Tumbal

Beberapa kali ikut penertiban PKL nakal di Kota Tua, Liputan6.com mendapati praktek tersebut. Beberapa pedagang membiarkan Satpol PP menangkap dan mengangkut gerobaknya, sementara teman-teman mereka lainnnya menyelamatkan diri dengan gerobaknya. Serupa tumbal.

Keesokan harinya, mereka yang tertangkap dan gerobaknya disita petugas, kembali berdagang seperti hari biasanya.

"Kalau sponsornya enggak setop, ya bakal gini terus, kami tertibkan, ramai lagi, tertibkan ramai lagi," Tamo mengeluh.

Kawasan Kota Tua sempat nyaman bagi pengunjung selama beberapa hari, bebas pengamen, bebas PKL, bebas parkir liar. Namun, pertengahan Desember 2016 hingga awal 2017, semua itu kembali seperti sediakala.

"Masa dalam 10 menit bisa enam pengamen? Terus sekarang ada yang nawarin minuman, makanan, dan lain-lain, eh tahunya PKL. Harganya juga enggak wajar, es teh bisa Rp 10 ribu," ujar Irwan, ayah dua anak yang membawa keluarganya jalan-jalan di Kota Tua.

Dari pantauan Liputan6.com, juga terlihat ada bentuk pembiaran dari beberapa petugas. Mereka tak menggubris pengamen yang masuk dan mengganggu pengunjung. Terlebih, para pengamen tersebut tak akan beranjak sebelum pengunjung memberikan uang.

"Mereka ini bikin bahaya, ditertibkan kami yang jadi bulan-bulanan, enggak ditertibkan kami yang dimarahi atasan," keluh seorang petugas keamanan kawasan Kota Tua yang enggan menyebutkan namanya.

Jumlah pengamen tak ada yang tahu pasti. Namun, pengunjung bisa bertemu mereka enam hingga delapan kali dalam waktu sepuluh menit. Triknya, jangan pernah istirahat dan duduk-duduk di sekitar Kota Tua.

"Ini yang dilema, lama-lama bisa sepi pengunjung Kota Tua," kata seorang penjaga sepeda sewaan di Kota Tua.