Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah melangsungkan sidang banding kasus 'kopi sianida' dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso. Upaya banding dilakukan lantaran pihak Jessica menganggap vonis yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tak adil.
Pengacara Jessica, Otto Hasibuan mengatakan, pihaknya telah resmi menyerahkan memori banding ke PN Jakarta Pusat pada Rabu 7 Desember 2016. Dia mendapatkan kabar bahwa Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah menunjuk majelis hakim untuk menyidangkan banding Jessica pada akhir Desember.
"Jadi perhitungan saya akhir bulan ini atau akhir Februari 2017 sudah keluar putusan bandingnya," ujar Otto saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Kamis (12/1/2017).
Advertisement
Otto menjelaskan, sidang banding berbeda dengan proses persidangan umum. Majelis hakim tinggi hanya mengkaji administrasi berupa memori banding dari pihak Jessica dan kontra memori banding dari jaksa penuntut umum (JPU) tanpa melibatkan kedua pihak tersebut di persidangan.
Otto mengungkapkan, saat ini kliennya dalam kondisi sehat di dalam rumah tahanan (Rutan) Pondok Bambu, Jakarta Timur. Jessica tengah harap-harap cemas menanti hasil putusan bandingnya di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
"Dia sehat. Jessica juga menantikan (hasil banding) dengan was-was," tutur dia.
Pengacara senior itu mengaku masih cukup sering berkomunikasi dengan Jessica. Terlebih, proses hukum yang ditempuh masih berlangsung. Pihaknya optimis, Pengadilan Tinggi DKI akan mengabulkan permohonan banding dan membebaskan Jessica.
"Memang dia (Jessica) sering bertanya bagaimana kemungkinannya. Ya saya jawab, secara lawyer kita harus optimis. Tapi faktanya juga harus dilihat. Kita menggantungkan harapan kita kepada hakim tinggi saja sekarang," ucap Otto.
Optimisme Otto dan kubu Jessica lainnya cukup berdasar. Otto mengatakan, putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat tak adil lantaran tidak didasarkan pada alat bukti yang ada.
"Saya melihat sebenarnya putusan itu kan tidak didasarkan bukti tapi hanya didasarkan keyakinan hakim saja. Padahal orang itu tidak bisa dihukum berdasarkan keyakinan, tapi harus berdasarkan alat bukti yang ada," kata Otto.
Poin penting yang dipermasalahkan adalah mengenai penyebab kematian Wayan Mirna Salihin. Menurut Otto, hakim menyimpulkan Mirna tewas akibat racun. Padahal jasad Mirna tidak dilakukan autopsi secara menyeluruh.
"Apakah hakim bisa menentukan sebab matinya seseorang. Dia kan tidak berkompetensi di bidang itu. Yang bisa menyatakan sebab matinya orang itu kan dokter. Dan dokter juga menyatakan harus melalui autopsi. Itu yang menjadi soal utama," ujar dia.
Karena itu, mantan Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) tersebut sangat yakin permohonan bandingnya dikabulkan Pengadilan Tinggi DKI. Jika keadilan tidak didapat di Pengadilan Tinggi, Otto akan kembali menempuh hukum hingga ke Mahkamah Agung (MA).
"Jadi kalau kembali kepada undang-undang ya Jessica harus dibebaskan. Jessica juga terus optimis bebas. Apakah nanti di dapat di Pengadilan Tinggi atau di Mahkamah Agung," tandas Otto.
Kasus dugaan pembunuhan 'kopi sianida' yang melibatkan dua alumni Billy Blue College, Australia itu sempat menjadi sorotan publik Indonesia bahkan dunia sepanjang 2016.
Kasus bermula saat Mirna tewas usai minum es kopi Vietnam di Kafe Olivier, Jakarta Pusat pada 6 Januari 2016 lalu. Jessica yang memesankan minuman tersebut pun dituding sengaja membunuh Mirna menggunakan racun sianida.
Perjalanan kasus mulai penyelidikan, penyidikan, hingga di persidangan cukup rumit. Perdebatan mengenai siapa sebenarnya yang membunuh Mirna pun kian sengit. Apalagi, tak ada yang melihat Jessica menabur racun sianida di gelas minuman Mirna. Rekaman CCTV Kafe Olivier pun tak mampu menunjukkan dengan jelas apa yang dilakukan Jessica sebelum kematian Mirna.
Hingga akhirnya, majelis hakim yang diketuai Kisworo itu menjatuhkan vonisnya pada 27 Oktober 2016. Jessica divonis 20 tahun penjara karena dianggap sengaja membunuh Mirna. Vonis tersebut sama seperti tuntutan yang dilayangkan JPU.