Liputan6.com, Jakarta - Pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Sumarsono saat ini tengah menjadi sorotan. Keputusan-keputusan yang dibuatnya dianggap melampaui kewenangan seorang Plt. Dengan alasan itu, Sumarsono pun dipetisikan.
Adalah Indra Krishnamurti, seorang warga Tangerang yang membuat petisi online di change.org. Petisi berjudul 'Usut dan Pidanakan Plt Gubernur DKI Jakarta Sumarsono Atas Penyalahgunaan Wewenang' itu hingga Kamis (19/1/2017) siang pukul 12.40 WIB, telah ditandatangani sebanyak 21.571 pendukung.
Besar kemungkinan, masalah ini tak hanya mengemuka di DKI Jakarta, tapi di 101 daerah (7 provinsi, 18 kota serta 76 kabupaten) yang tahun ini akan menggelar pilkada serentak karena daerah mereka juga dipimpin seorang Plt. Namun, yang mengemuka hanya di DKI Jakarta.
Advertisement
Terkait masalah ini, ada dua produk hukum yang bisa dijadikan dasar untuk melihat kewenangan seorang kepala daerah dengan status Plt. Yaitu Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Pada prinsipnya, tugas dan wewenang Plt itu sama dengan seorang kepala daerah. Yang membedakannya terletak pada kewenangan yang dibatasi, di mana pada Pasal 132A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008, seorang Plt dilarang:
a. melakukan mutasi pegawai;
b. membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya;
c. membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan
d. membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.
Namun, pada Ayat (2) PP ini menulis: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
Bisa dilihat, berdasarkan regulasi tersebut kewenangan seorang pejabat sementara kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sangat terbatas, terutama pelarangan untuk empat hal tersebut di atas.
Hanya saja, seorang Plt atau Pjs kepala daerah dapat melanggar ketentuan ini jika mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
Tumpang Tindih Permendagri
Meski sudah ada panduan untuk Plt dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, Menteri Dalam Negeri berinisiatif untuk mengatur ulang dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 74 Tahun 2016 tentang cuti di luar tanggungan negara bagi kepala daerah yang ikut pilkada.
Walaupun permendagri ini tentang cuti, dalam salah satu pasal diselipkan mengenai pengangkatan pejabat pelaksana tugas kepala daerah dan wewenangnya.
Berdasarkan Pasal 9 Permendagri itu, wewenang pejabat pelaksana tugas tidak lagi sekadar melaksanakan tugas rutin pemerintahan seperti dalam UU Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 49 Tahun 2008. Tetapi melebar pada hal-hal kebijakan strategis yang semestinya menjadi kewenangan pejabat definitif.
Layaknya, permendagri ini menyamakan kewenangan pejabat pelaksana tugas dengan pejabat definitif, yaitu memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Pasal 9 Ayat (1) Permendagri menyatakan:
Pelaksana Tugas Gubernur, Pelaksana Tugas Bupati, dan Pelaksana Tugas Walikota mempunyai tugas dan wewenang:
a. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
c. memfasilitasi penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota yang definitif serta menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil;
d. menandatangani Perda tentang APBD dan Perda tentang Organisasi Perangkat Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri; dan
e. melakukan pengisian dan penggantian pejabat berdasarkan Perda Perangkat Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Dan pada ayat (2) berbunyi: Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaksana Tugas Gubernur, Pelaksana Tugas Bupati, dan Pelaksana Tugas Walikota bertanggung jawab kepada Menteri.
Bisa dilihat, kewenangan yang diberikan Permendagri tidak lagi membatasi kewenangan seorang Plt kepala daerah, karena kebijakan yang sifatnya strategis bisa dilakukan oleh pejabat yang bukan kepala daerah definitif. Hal inilah yang kemudian terlihat tak ada perbedaan antara fungsi dan kewenangan seorang kepala daerah dengan Plt kepala daerah.
Â
Advertisement
Sumarsono Vs Netizen
Dalam petisi online yang dibuatnya, Indra Krishnamurti mengatakan bahwa Plt Gubernur DKI Jakarta Soni Sumarsono telah berulang kali mengambil keputusan yang berada di luar wewenangnya, antara lain:
1. Mengubah jumlah SKPD dari 54 menjadi 42 SKPD, dan menghapus 1.060 jabatan.
2. Memutuskan untuk memberikan dana hibah untuk Bamus Betawi sejumlah Rp 2.5 miliar dari APBD-P DKI 2016 dan Rp 5 miliar dari APBD DKI 2017.
3. Menghentikan sementara 14 proyek lelang dini dengan alasan menjaga psikologis politik DPRD DKI.
4. Mengubah Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara DKI Jakarta.
"Dari contoh-contoh di atas, kami memiliki dugaan bahwa Plt. Gubernur DKI Jakarta Soni Sumarsono layak diduga telah melakukan pelanggaran wewenang," tulis Indra dalam petisinya.
Karena itu, dia memohon kepada Presiden Joko Widodo melalui Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk memberikan teguran keras kepada Sumarsono untuk berhenti mengambil tindakan yang berada di luar wewenangnya.
Selain itu, Indra juga berharap adanya pembatalan semua keputusan yang merupakan pelanggaran terhadap kewenangan Plt. Gubernur DKI Jakarta dan mengembalikan ke status quo.
Namun demikian, Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan, jika memang ada kesalahan yang dilakukan Sumarsono, bukan urusan Presiden, melainkan dirinya.
"Secara prinsip, Plt enggak usah Presiden yang tegur. Dia tanggung jawab saya selaku Mendagri," ucap Tjahjo, Rabu, 18 Januari 2017.
Menurut dia, apa yang dilakukan Soni sejauh ini masih dalam koridor yang benar. Sehingga, politikus senior PDIP itu menilai tidak ada yang salah. "Apa yang dilakukan Plt sampai detik ini enggak ada yang salah," tutur Tjahjo.
Dia menilai, ini hanya sudut pandang masyarakat saja yang melihat perbedaan gaya Sumarsono dengan gubernur nonaktif DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
"Itu soal gaya saja. Mungkin Ahok itu rock jazz. Kalau Soni, rock keroncong. Jadi enggak ada yang salah dengan apa yang dilakukan Soni. Setiap keputusan ada konsul dengan DPRD," Tjahjo memungkas.