Sukses

Potret Imlek di Mata Lelaki Tua Bernama Abeng

Abeng terdiam..., teringat istri dan anaknya jelang Imlek ini. Nasibnya, tak seberuntung warga etnis Tionghoa yang identik dengan kesuksesan

Liputan6.com, Jakarta - Langit Ibu Kota cerah pagi itu jelang Imlek. Biru dengan serabut awan putih tipis. Seorang lelaki tua menengadah, memandang langit dari celah bangunan-bangunan di Jelambar Selatan, Grogol Petamburan, Jakarta Barat.

Abeng namanya. Sesekali, dia menatap deretan toko kelontong dan warung makan di kawasan itu. Tapi, tak banyak yang didapatinya. Ya, pagi itu, belum banyak orang yang beraktivitas. Bisa dihitung dengan jari pengguna jalan di depan wihara yang dijaganya.

Sesekali raungan mesin sepeda motor lewat. Salah satunya dari sepeda motor yang dikendarai seorang perempuan tua. Perempuan itu pun melempar senyum ke Abeng.

Sepi kembali menemaninya ketika wanita tersebut berlalu. Hanya ada sebuah meja persembahan dengan ornamen khas wihara dan dua hio besar yang ada di dekat pria 65 tahun itu.

Tak lama kemudian, datang seorang perempuan lainnya. Rupanya perempuan itu ingin berdoa di Vihara Avaloktesvara tempat Abeng bekerja. Abeng lalu mempersilakannya masuk.

Dia menuturkan tak banyak orang beribadah di sini. "Yang berdoa di sini tak banyak, sangat jarang. Kalaupun ada doa bersama, tak lebih 30 orang saja," kata Abeng kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis 26 Januari 2016.

Begitupula saat Imlek tiba. Maklum saja, wihara ini sering luput dari perhatian karena saking kecil tempatnya walaupun letaknya yang ada di persimpangan jalan. Terlebih, sering kali bau hionya nyaris tak tercium karena aroma gurih kwetiau goreng atau martabak dari warung yang terletak di seberang wihara.

Jelang Imlek, Abeng mengaku tak memiliki persiapan khusus. Dia pun tak merayakannya secara khusus. Lagipula, tutur dia, tak ada keluarga yang menemaninya merayakan Imlek.

Dia hanya menyibukkan diri dengan urusan wihara. Walaupun, tak ada yang istimewa dengan perayaan di Vihara Avaloktesvara.

"Tak ada yang spesial tahun ini, selain menghias vihara, ini cuma vihara kecil, umatnya ya sekitar sini saja," kata Abeng sembari mengacungkan telunjuknya ke sekitar.

"Banyak yang merayakan dengan keluarga," lanjut Abeng dengan suara bergetar.

Dia lalu terdiam.... Dia teringat istri dan anaknya.

"Saya tinggal sendirian," tukas Abeng.

Suasana wihara tempat Abeng sehari-hari bekerja jelang Imlek. (Liputan6.com/Muslim AR)

Pria itu kemudian membagi kepedihannya kepada Liputan6.com. Dia bercerita, anak dan istrinya meninggalkannya bertahun-tahun yang lalu. Dia bahkan belum pernah bertemu dengan sang cucu.

Eng Kian Min, begitu nama aslinya, terpaksa menganggur sebelum menjaga wihara ketika klinik tempatnya bekerja tutup. Dia tak memiliki pemasukan lagi.

Namun, dia menolak untuk meminta-minta. Untuk menopang kehidupannya sehari-hari, memilih membantu sangha (kelompok biksu) untuk membersihkan dan menjaga wihara.

Karena inilah, istri dan anaknya memilih pergi.

Nasib Abeng memang tak seberuntung warga etnis Tionghoa di Ibu Kota yang identik dengan kesuksesan dalam berbisnis. Tetapi, dia memiliki semangat menaklukkan kerasnya hidup di Jakarta.

Sedikit demi sedikit dia mengumpulkan uang untuk membelikan istri, anak dan cucunya baju baru Imlek.

Menurut dia, ada tradisi membeli baju baru saat Imlek di keluarganya.

"Merah warnanya," kata Abeng. Baju itu masih rapi terpajang di rumahnya di Pejagalan.

Dia kembali terdiam....

"Anak saya sudah pisah dengan saya, kita sudah masing-masing saja," lirih Abeng berusaha tegar sembari menghela nafas panjang.

2 dari 2 halaman

Masih Beruntung

Kini, di usianya yang tak muda lagi, Abeng berusaha menjalani kehidupan dengan baik. Dia tetap menjaga wihara, mengabdi kepada Tuhan.

Dia tidak peduli jika harus kembali akan merayakan Imlek seorang diri.

"Biasanya malam sebelum Imlek, anggota keluarga akan saling bermaafan, ayah ke anak, suami ke istri dan mengucapkan doa bersama, diakhiri dengan makan bersama," kenang Abeng.

Meski akan merayakan Imlek dalam sepi, dia merasa sangat beruntung. Pada tahun ini, dia bisa merayakan Imlek dengan tenang.

Masih lekat di ingatannya, betapa susah merayakan Imlek sebelum 1998. "Kalau dulu, merayakan Imlek sembunyi-sembunyi hanya keluarga dan komunitas saja, sekarang bisa di jalan ramai," ujar Abeng.

Imlek tahun ini, dia berharap, banyak berkah yang menghampiri. Biasanya, ketika Imlek datang, banyak donatur dan kawan lama yang membantunya.

Oleh karena itu, dia akan mempersembahkan doanya bagi kebahagiaan seluruh umat manusia.

"Saya tinggal sendiri, tak ada perayaan khusus untuk Imlek, cuma doa dan harapan agar semua orang sehat, sejahtera dan berhasil dalam usahanya," tandas Abeng.

Video Terkini