Liputan6.com, Jakarta Kasus dugaan suap yang menjerat Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mencoreng wajah Mahkamah Konstitusi (MK).
Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki mengatakan, perbuatan Akil Mochtar maupun Patrialis adalah cerminan dari pengkhianat bangsa.
Baca Juga
"Jadi apa yang dilakukan Akil dan Patrialis, ini saya bilang pengkhianatan tertinggi pejabat publik terhadap Republik. Dia khianati konstitusi, khianati amanat rakyat, khianati kepercayaan publik," kata Suparman dalam diskusi Perspektif Indonesia bertajuk 'Lagi, Korupsi di Mahkamah Konstitusi' di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (28/1/2017).
Advertisement
Dia menilai Hakim Konstitusi bukan hanya sekadar sebagai penafsir konstitusi, melainkan memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga konstitusi.
"Karena itu tindak-tanduk seluruh hakim konstitusi itu harus cerminkan konstitusi itu sendiri," tegas Suparman.
Suparman sangat menyesalkan dan menyayangkan kasus suap yang menjerat hakim konstitusi di tengah upaya besar-besaran pembenahan sektor peradilan, kehakiman dalam rangka untuk mengembalikan kepercayaan publik.
"Nggak bisa dianggap sepele. Kita itu sedang berusaha membangun kewibawaan negara, bangun kehormatan bangsa, tapi perampasan ini dilakukan oleh pejabatnya sendiri," tandas Suparman.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar sebagai tersangka suap uji materi Undang-Undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di MK.
Patrialis ditetapkan menjadi tersangka setelah sebelumnya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK pada Rabu, 25 Januari 2017.
"Setelah melakukan pemeriksaan kami menetapkan PAK (Patrialis Akbar) sebagai tersangka," ujar pimpinan KPK Basaria Panjaitan dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (26/1/2017).
Basaria mengatakan, kasus tersebut terkait dugaan suap dalam uji materi UU Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di MK. Patrialis Akbar diduga menjanjikan permohonan uji materi dapat dikabulkan.
"Disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP," kata Basaria.