Liputan6.com, Jakarta - Siang itu, Fahri duduk termenung di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Bukan karena Ahok. Dia dan nelayan lain memang sedang tidak melaut hari itu karena angin sedang kencang.
"Di sini lagi enggak ada lelang. Lagi musim angin enggak ada ikan," ujar Fahri kepada Liputan6.com, di Pulau Pramuka, Senin 30 Januari 2017.
Baca Juga
Menurut Fahri, tempat dia duduk itu adalah lokasi sakral. Tempat yang menjadi saksi bisu pidato Ahok pada 27 September 2016 yang berujung dugaan penistaan agama.
Advertisement
"Di sini mbak. Pak Ahok sambutan berdiri di sini," ucap pria 35 tahun itu.
Fahri merupakan salah satu nelayan yang ikut sosialisasi program ikan kerapu. Dia menceritakan, saat itu, dia menyimak pidato Ahok dan tak menemukan adanya kalimat penodaan agama dalam pidatonya.
"Saya dengerin terus, yang saya denger justru Pak Ahok tawarkan program kerja sama ikan kerapu," ucap dia.
Sambil sesekali mengisap rokok kreteknya, Fahri mengaku tak menyangka ucapan Ahok soal Al Maidah bisa menjadi topik dan kasus sebesar sekarang. Terlebih, warga Pulau Pramuka tidak pernah mempermasalahkan ucapan Ahok itu.
Menurut Fahri, warga Pulau Pramuka tidak ambil pusing. Warga menanggapi positif karena ketika itu, Ahok membicarakan soal program Pemprov DKI.
"Saat sidang biasa saja, nelayan warga dengerin Pak Ahok, sesudahnya juga biasa saja," ujar dia.
Senada dengannya, Imam Supriadi mengatakan pihak yang meributkan soal Surat Al Maidah hanya orang luar pulau.
"Yang ribut orang luar, orang Jawa, orang Pulau sekarang saja nyambut Pak Ahok," kata pria yang juga berprofesi sebagai nelayan itu.
Saat blusukan di Pulau Seribu kemarin, Ahok memang mendapat sambutan hangat penduduk. Warga menyambut Ahok bahkan dari dermaga. Ia diarak keliling kampung dengan musik rebana layaknya seorang pengantin.
"Kayak pengantin ya gue?" canda Ahok.