Sukses

LPSK: Saksi Atau Pelapor Tak Boleh Beri Keterangan Palsu

Menurut Semendawai, saksi harus mampu memberi kesaksian dengan berdasarkan itikad baik.

Liputan6.com, Jakarta - Belakangan ini marak pelaporan kasus ke polisi. Namun, banyak yang kurang paham dengan pentingnya peran saksi atau pelapor, dalam upaya penegakan hukum tersebut.

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan, keterangan saksi menjadi alat bukti sah di persidangan dan sangat membantu penegak hukum mengungkap suatu tindak pidana.

Meski begitu, kata Semendawai, saksi haruslah mampu memberi kesaksian dengan berdasarkan pada itikad baik. Terlebih, sebelumnya yang bersangkutan telah disumpah.

"Saksi atau pelapor itu tidak boleh memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat," tutur Semendawai di kantor LPSK, Cijantung, Jakarta Timur, Selasa (31/1/2017).

"Karena kalau sampai kesaksian yang diberikan palsu, selain dampaknya akan merugikan terdakwa, hal itu juga akan merusak tatanan sistem penegakan hukum," dia melanjutkan.

Semendawai pun menggambarkan tren pelaporan belakangan ini. Di antaranya setelah berjalannya persidangan kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

"Dari permasalahan itu, banyak pihak yang saling melapor ke polisi, baik untuk kasus yang sama atau lainnya. Hal itu tentu menimbulkan tanda tanya dan keresahan di masyarakat," kata dia.

Menurut Semendawai, jika fenomena ini terus berlanjut, baik pelapor maupun saksi, pada masa mendatang menjadi khawatir saat berupaya menegakkan keadilan dan hukum.

"Praktiknya, pada saat saksi atau pelapor itu melaporkan suatu tindak pidana, yang bersangkutan berpotensi dilaporkan balik. LPSK pernah mencatat dan menangani beberapa kasus, di mana, saksi atau pelapor dilaporkan balik oleh tersangka," dia mencontohkan.

"Padahal, melaporkan suatu tindak pidana merupakan kewajiban bagi setiap warga negara, seperti diatur Pasal 165 KUHP. Bahkan, bagi mereka yang mengetahui adanya suatu tindak pidana tetapi tidak melaporkannya kepada penegak hukum, dapat diproses secara hukum," dia melanjutkan.

Untuk itulah, Semendawai menegaskan, ancaman terhadap keamanan dan kenyamanan saksi atau pelapor dalam upaya pengungkapan suatu tindak pidana, harus ditiadakan.

"Sesuai Pasal 10 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan, saksi atau pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksiannya. Kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan itikad baik," dia menjelaskan.

Untuk menihilkan kesaksian palsu, menurut Semendawai, dalam proses pengambilan keterangan saksi tidak boleh ada tekanan.

"Itu ada aturannya. Proses penegakan hukum harus memerhatikan beberapa aspek, seperti prosedural. Prosedural penting dalam penegakan hukum. Karena dalam mengejar substansi hukum, tidak bisa dilakukan tanpa sesuai prosedural," Semendawai menandaskan.