Liputan6.com, Jakarta - Tim pengacara Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) berencana mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka Rizieq Shihab oleh penyidik Polda Jawa Barat. Pemimpin FPI itu dituding menistakan lambang negara, Pancasila.
"Kita sepakat akan praperadilan. Tentu kita siapkan semuanya," ujar pengacara GNPF MUI, Kapitra Ampera, saat dikonfirmasi, Jakarta, Selasa (31/1/2017).
Baca Juga
Namun, dia dan tim belum menentukan tanggal pengajuan permohonan praperadilan tersebut. Apalagi, penetapan tersangka baru keluar Senin, 30 Januari 2017.
Advertisement
"Segera di Pengadilan Negeri Bandung. Kan poldanya di sana," kata Kapitra.
Dia membantah kliennya menghina Pancasila. Dia berdalih ucapan Rizieq terkait Pancasila itu merupakan produk akademis yang dituangkan dalam karya ilmiah berupa tesis.
"Dan itu diperdebatkan, diuji dan dapat dipertahankan. Bahan akademis itu kemudian dibawa Habib Rizieq ke bahasa verbal ke jemaahnya, ke bahasa umum tentang sejarah Pancasila, konsep-konsep dari Pancasila," ucap Kapitra.
Menurut dia, penempatan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut Presiden Soekarno, semula berada di sila kelima. Hal itu yang kemudian disebut Rizieq dalam ceramahnya, Ketuhanan versi Pancasila Soekarno berada di pantat.
"M Yamin menempatkan (Ketuhanan YME) di sila pertama. Karena dia dibesarkan di kultur Betawi. Kalau nomor lima itu sama dengan nomor buntut. Kalau nyebut nomor satu dengan kepala. Itu kan kajian-kajian akademis, masa kebebasan berpikir dipidana," ucap Kapitra.
Kapitra bahkan mengutip istilah dari filsuf Prancis, Rene Descartes "aku berpikir maka aku ada". Dia menilai penetapan Rizieq sebagai tersangka merupakan upaya membungkam seseorang berpikir kritis.
"Manusia itu kan diberikan kewenangan untuk berpikir. Itu kan ada pada freedom of speech, freedom of knowladge, kebebasan berpikir dan kebebasan untuk menyampaikam akal pikiran," kata Kapitra.
Seharusnya, kata dia, apa yang disampaikan Rizieq Shihab tentang Pancasila itu dibantah dengan karya ilmiah yang lain, bukan dengan upaya pidana.
"Kalau itu keliru, ya dibantah juga dengan karya ilmiah. Apalagi ini karya ilmiah formil," tandas Kapitra.