Liputan6.com, Jakarta - Patrialis Akbar mengundurkan diri dari jabatannya sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) usai ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK. Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menilai, kasus hukum yang membelit Patrialis Akbar sebagai suatu bencana menyedihkan.
"Lagi-lagi itu berita bencana saja dan sedih sekali, kita bagaimana pun institusi yang menjaga azas kepantasan, kepatutan, dan moralitas sekali lagi mendapatkan cobaan seperti ini, kita sedih sekali ini," ujar Paloh di Kantor DPP Partai Nasdem Gondangdia, Jakarta Pusat, Selasa (31/1/2017).
Baca Juga
Terkait keinginan beberapa pihak agar ada revisi undang-undang penyeleksian hakim MK dan dilakukan secara terbuka setelah Patrialis Akbar tertangkap, hal itu bukanlah menjadi yang terpenting. Sebab, semua peraturan formal yang ada tidak akan berarti apabila tidak diikuti semangat menjalankannya.
Advertisement
"Undang-undang ada tapi semangat untuk menjalankan undang-undang tidak ada. Saya pikir sayang sekali kita," ucap dia.
Paloh menegaskan, kasus Patrialis Akbar ini tidaklah lantas menurunkan citra orang yang dulunya pernah menjadi kader partai politik (parpol) bekerja di bidang hukum.
"Bukan hanya masalah partai politik, ini memang masalah manusianya. Enggak ada itu menjamin bahwasanya partai politik itu lebih baik, pasti, atau pun kalau tidak parpol itu lebih baik, pasti, enggak ada itu," tutur Paloh.
Patrialis Akbar terjaring operasi tangkap tangan (OTT) di Grand Indonesia bersama seorang wanita. Patrialis diduga melakukan suap uji materi Undang-Undang Nomor 41 tahu 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Selain itu, KPK juga ikut mengamankan Kamaludin (KM) yang diduga sebagai perantara suap.
Patrialis disangka menerima suap dari Basuki Hariman (BHR) dan NG Fenny (NGF). Basuki merupakan ‎bos pemilik 20 perusahaan impor daging, sedangkan NG Fenny adalah sekretarisnya.
Oleh Basuki, Patrialis Akbar dijanjikan uang sebesar US$ 20 ribu dan SGD 200 ribu. Diduga uang US$ 20 ribu dan SGD 200 ribu itu sudah penerimaan ketiga. Sebelumnya sudah ada suap pertama dan kedua.
Sebagai penerima suap, Patrialis Akbar dan Kamaludin dijerat dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara Basuki dan NG Fenny sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU No 31 tahun 1999 diubah dengan UU No 20 tahun ‎2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.