Liputan6.com, Bengkulu - Radikalisme atau tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok orang dengan mengatas namakan Islam ternyata tidak serta merta disetujui mayoritas pemuda Indonesia. Kesimpulan ini tergambar dalam diskusi publik membedah hasil survei terkait Persepsi dan Sikap Generasi Muda Terhadap Radikalisme dan Ekstrimisme Kekerasan.
Survei yang dilakukan oleh International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) ini mengambil sample sebanyak 1.000 responden dengan rentang usia dari 15 hingga 30 tahun. Dengan tingkat Margin Error sebesar 2,9 persen dan tersebar di 6 Kota di Indonesia yang memiliki tingkat resistensi yang sangat tinggi.
Baca Juga
Peneliti INFID Isfahani memaparkan, sebanyak 60,6 persen dari responden menyatakan sepakat bahwa Indonesia menjadi bangsa yang besar karena mampun menaungi seluruh aspek masyarakat, baik itu Ras, Suku Agama dan bahasa yang berbeda beda. 63,1 persen responden juga sepakat bahwa Bangsa ini akan terpecah belah jika seluruh komponen bangsa tidak saling menjaga keutuhan dan terus memaksakan diri melalui simbol agama.
Advertisement
"Secara umum hasil survei ini membuktikan bahwa toleransi menempatkan suatu sudut pandang yang sangat penting dalam meletakkan landasan identitas bangsa Indonesia," ujar Isfahani di Bengkulu, Selasa 31 Januari 2017.
Sikap dan pandangan pemuda muslim yang merupakan golongan mayoritas negeri ini, kata Isfahani, tidak menoleransi tindakan radikalisme berbasis agama. Tetapi harus diwaspadai bahwa sikap permisif pada sejumlah peristiwa yang dilandasi perbedaan keyakinan juga menggambarkan bagaimana generasi muda sangat rentan menjadi intoleran.Apalagi saat ini, pemuda muslim sangat dekat dengan tekhnologi berbasis jaringan internet.
Media Sosial yang melakukan provokasi secara terus menerus dan tidak bertanggung jawab menjadi pemicu berkembangnya sikap patriotik dan sangat cepat menyebarkan informasi yang bisa saja menggiring anak muda kedalam situasi tidak terkendali.
Romi Sugara, aktifis alumni Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI) menilai, peran media penyebar provokasi yang berkembang saat ini harus dibatasi dengan pendekatan keluarga dan agama secara benar. Para pemuda akan terus diprovokasi terutama melalui media sosial yang sangat mudah diakses.
Gambaran hasil survei ini jelas membuktikan bahwa tidak akan mudah dipengaruhi isu negatif terkait radikalisme, tetapi golongan rentan terhadap hasutan terutama remaja harus mendapat pemahaman yang lebih mendalam. Apalagi saat ini golongan penghasut sangat gencar memanfaatkan isu yang dikaitkan dengan peristiwa tertentu untuk kepentingan politik praktis.
"Pemaksaan oleh kelompok tertentu ini yang mesti diwaspadai, setiap momentum akan diambil untuk memperkuat argumentasi mereka dan ini sangat berbahaya," tegas Romi Sugara.