Liputan6.com, Jakarta - Pawang hujan. Tentu banyak yang pernah mendengar istilah ini. Bagaimana tidak, pawang hujan merupakan jenis jasa yang cukup populer di Indonesia.
Keberadaan pawang hujan mungkin mengingatkan kita pada karakter-karakter di dunia kartun. Sebut saja, Katara dalam serial kartun Avatar: The Legend of Aang. Katara mampu mengendalikan air, termasuk hujan.
Baca Juga
Kemampuan mengendalikan ini kerap disematkan pada pawang hujan. Liputan6.com berkesempatan menemui Eko Budhi Sumantri (44), seorang pawang hujan yang biasa mendapat pesanan dari luar negeri.
Advertisement
Pak Eko, begitu bapak dua anak ini biasa disapa, meniti karier sebagai pawang hujan sejak awal 2009. Awalnya, Eko hanya mendapat orderan untuk acara hajatan. "Karena kalau hujan kan mengganggu acara,” kata Eko kepada Liputan6.com, awal Januari 2017.
Permintaan tersebut, kata Eko, awalnya berasal dari perorangan. Belakangan, nama Eko menjadi terkenal. Sebab, kian banyak orang yang menggunakan jasanya. Sejumlah instansi pemerintahan pun turut memanggil Eko buat menjadi pawang hujan di acara resmi kenegaraan.
Dalam sebulan, Eko mengaku bisa empat sampai lima kali mendapat orderan. Eko pun kadang harus betah jauh dari rumah sampai dua pekan. Itu jika dirinya mendapat orderan dari luar kota atau luar negeri. "Bisa ke Italia, ke India, atau ke Singapura," ucap Eko.
Permintaan-permintaan ini kian membuat Eko terkenal. Apalagi, nama Eko kian mudah muncul di laman pencarian google. Sebab, Eko memasang keahliannya di laman portal milik pribadi di dunia maya.
Anggi, manajer humas di salah satu hotel sekaligus langganan Eko menuturkan, perusahaannya sudah mempercayakan urusan pawang hujan kepada Eko. Kata Anggi, perusahaannya sudah dua tahun ini menjadi langganan.
Perempuan asal Bandung ini mengatakan ia puas dengan kinerja Eko. Sebab, Eko bisa membuktikan kepada klien jika jasa yang ditawarkannya sesuai dengan harapan.
"Pertama-tama kita membuktikan hasil pawang hujan Pak Eko. Kita percaya karena sudah ada bukti. Itu saja sih," kata Anggi.
Cerita keberadaan pawang hujan di Indonesia sempat membuat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kedatangan tamu dari mancanegara. Kepala Bagian Humas BMKG Hary Tirto Djatmiko langsung tertawa saat Liputan6.com mendatangi ruangannya.
"Ini wawancara yang kesepuluh (tentang pawang)," ucap Hary sembari tertawa.
Hary menyebut fenomena keberadaan pawang hujan tak bisa disangkal. Dalam bahasanya, Hary menyebut pawang dengan istilah pembantu perantara. Bagi Hary, keberadaan pawang merupakan sesuatu yang perlu diteliti.
Hary yang sudah puluhan tahun bekerja di dunia kecuacaan tak merasa janggal dengan keberadaan pawang. Sebab, kata Hary, dirinya malah melihat ada hal yang menarik dan belum diusik dari pawang hujan.
"Yang menarik ini terkait metodologi. Pawang hujan punya metodologi tersendiri. Metodologi itu bisa dipelajari. Cuma di kita, tidak ada yang meneliti ke arah sana," kata Hary.
Bukan Magic Pengusir Rintik
Soal metodologi pawang hujan ini, sempat membuat Eko tersenyum. Dirinya mengakui, pernah diminta salah satu institusi milik negara untuk terlibat dalam proyek pengendalian hujan.
Meski begitu, Eko menyadari, bukan hal mudah menjelaskan cara kerjanya secara ilmiah. Sebab, kata Eko, yang dia lakukan sebenarnya hanyalah berdoa. "Cara saya pakai tawasul," ujar Eko.
Tawasul yang dimaksudkan ialah membacakan Surat Al-Fatihah kepada Nabi Muhammad SAW, nabi-nabi, dan tokoh-tokoh Islam, kakek, orangtua, dan mertuanya. Kemudian, Eko akan berzikir di dekat sumber air.
Saat berzikir ini, Eko membacakan sejumlah doa. "Biasanya satu putaran zikir itu tiga jam," kata Eko. Selepas membaca doa, Eko akan meniupkan doa-doa yang dilafalkan, atau mengarahkan telunjuk ke atas.
Sementara saat acara berlangsung, Eko akan pindah ke masjid yang dekat dengan lokasi. Di masjid ini, Eko akan salat dan kembali berzikir sembari memantau kondisi cuaca.
Namun, Eko menerangkan, apa yang dia lakukan sebenarnya bukan menahan hujan. Menurut Eko, doa-doa yang dilafalkan bertujuan untuk memindahkan hujan dari satu lokasi ke lokasi lain.
"Kita berdoa, Ya Allah, pindahkanlah mendung dan hujan dari lokasi ini ke lokasi ini. Berdoanya begitu. Bukan menangkal," tutur Eko. Sehingga, Eko hanya bisa tertawa ketika dirinya disebut sebagai orang yang bisa menangkal hujan.
Soal pemindahan hujan ini memang masih jadi pertanyaan. Sebab, pemindahan dimungkinkan terjadi jika awan pembawa hujan bisa digerakkan angin. Secara alamiah, bergeraknya awan pembawa hujan karena diterpa angin ini kerap terjadi.
Sementara dalam ilmu kecuacaan, proses pengendalian untuk memindahkan awan ini sulit dilakukan. Kepala Humas BMKG Hary Tirto Djatmiko menyebut, hujan hanya dimungkinkan untuk diperlambat atau dipercepat.
Proses memerlambat dan memercepat ini, kata Hary, dimungkinkan dengan menggunakan teknologi. "Tidak mungkin dikendalikan, tapi dimodifikasi. Modifnya itu dipercepat atau diperlambat," kata Hary.
Advertisement
Antara Modifikasi dan Pasrah
Hary Tirto Djatmiko masih ingat betul pembukaan Olimpiade Beijing pada 2008. Peristiwa akbar di dunia olahraga itu tak hanya menjadi perhatian penggemar sport. Tapi, jadi perhatian pakar dan praktisi cuaca di seluruh dunia.
Seluruh ilmuan kecuacaan dan badan meteorologi setempat meramalkan, hujan deras akan terjadi tepat pada Jumat malam 8 Agustus 2008. Padahal saat itu, acara pembukaan yang dipusatkan di Beijing National Stadium akan dimeriahkan pesta kembang api.
Kekhawatiran hujan akan merusak acara, membuat panitia penyelenggara, pemerintah Tiongkok, dan badan meterologi setempat sigap. Mereka memodifikasi cuaca dengan memperlambat hujan. "Saat pembukaan tidak hujan, selesai pembukaan Olimpiade, hujan lebat," kata Hary.
Menurut Hary, peristiwa tersebut menjadi contoh bagaimana cuaca bisa dimodifikasi. Proses modifikasi ini, kata Hary, yang ia duga dilakukan para pawang hujan.
Hanya saja, Hary kembali menegaskan, belum ada penelitian soal metode yang digunakan para pawang hujan. Hary tetap meyakini, proses pemindahan hujan yang dilakukan pawang hujan bisa dibuktikan melalui pendekatan ilmiah.
Ia mencontohkan kamera pemindai aura, yang menggunakan gelombang elektromagnetik. Dalam hal ini, kata Hary, ilmu fisika bisa digunakan untuk meneliti. Yakni dengan mengukur frekuensi energi yang dikeluarkan seorang pawang hujan saat mencoba memindahkan hujan.
Dalam keyakinan Hary, pawang hujan bekerja dengan mengeluarkan energi yang bisa mengusik posisi awan. Sebab dalam ilmu kecuacaan terungkap, awan berada dalam posisi yang tetap saat hendak atau turun hujan. Jika awan terus terbawa angin, Hary menyebut, hujan dipastikan tidak terjadi.
"Energi itulah yang perlunya diteliti, dia menggunakan metodologinya," kata Hary.
Soal seberapa besar energi ini, Eko kembali tersenyum. Dirinya merasa tak ada yang berbeda saat meniup ke arah langit. Dia mengaku, rasa capek justru muncul saat tengah berzikir. Sebab, dia harus membacakan doa terus-terusan selama satu jam bahkan lebih.
Lantaran itu, Eko tak mau ambil pusing ihwal bagaimana membuktikan cara kerja seorang pawang hujan. Sebab apa yang dilakukan, kata Eko, sebenarnya hanya satu hal. "Kita pasrah sama Allah SWT, berdoa semaksimal mungkin," ucap Eko sembari tersenyum.