Liputan6.com, Jakarta - Pilkada 2017 segera memasuki masa tenang. Pemerintah dan penyelenggara pemilu pun mengimbau kepada masyarakat agar turut menjaga situasi kondusif. Termasuk tidak menggelar demo berbau politik.
Kabar adanya aksi 11 Februari pun terdengar. Aksi tersebut disebut-sebut sebagai lanjutan aksi damai 212. Namun, polisi melarang aksi tersebut karena aksi tersebut rencananya akan dilakukan pada masa tenang.
TNI dan Polri pun siap mengantisipasi aksi tersebut. Tentu demi menjaga kondisi masa tenang Pilkada serentak 2017, yang berlangsung mulai 11 hingga 15 Februari.
Advertisement
"Saya dapat info kalau minggu tenang mau ada demo. Kalau demo enggak ada masalah, asal bukan tentang pilkada. Karenanya Bawaslu perlu mengawasi," kata Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, usai menghadiri rapat koordinasi pilkada 2017 di Hotel Bidakara, Selasa, 31 Januari 2017.
Walau kabar yang beredar itu belum pasti, Gatot mengatakan TNI tetap akan berkoordinasi dengan Polri dalam hal pengamanan.
"Apabila (benar) ada demo berbau pilkada, politis, maka Bawaslu harus melarang dan TNI-Polri siap di belakang Bawaslu," Gatot menegaskan.
Setali tiga uang, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar juga mengimbau kepada masyarakat agar tidak menggelar aksi selama masa kampanye hingga hari pencoblosan, 15 Februari 2017.
"Hari ini kita imbau dulu jangan melakukan aktivitas yang merugikan masyarakat. Terutama saat masa tenang 11 Februari, 12 Februari, 13 Februari," kata Boy di Mabes Polri, Jakarta, Kamis, 2 Februari 2017.
Polri bakal berkoordinasi dengan KPU dan Bawaslu perihal rencana aksi 11 Februari tersebut. Polri berharap semua pihak bisa mewujudkan situasi tenang, baik sebelum dan sesudah Pilkada 2017.
"Kami koordinasi dengan KPU dan Bawaslu, untuk kita sama di hari tenang itu mewujudkan ketenangan," Boy menandaskan.
Imbauan juga datang dari Menko Polhukam Wiranto. Dia mengimbau agar masyarakat tidak melakukan kegiatan yang memicu sentimen dan mempengaruhi publik ketika masa tenang pilkada.
"Kalau minggu tenang diwarnai kericuhan ya, dengan hal-hal negatif, tidak sesuai dengan niat atau semangat minggu tenang," kata Wiranto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 3 Februari 2017.
Wiranto menyebutkan ada rencana aksi damai bela Islam dan ulama yang dilakukan selama tiga hari, yakni pada 11,12, dan 15 Februari 2017. Karena itu, dia berharap tak ada pihak yang membuat masa tenang justru menjadi tegang.
"Membuat tidak tenang itu apa? Kalau ada demonstrasi yang ternyata tidak diizinkan oleh UU, oleh peraturan perundangan berlaku, namanya itu membuat tidak tenang. Jadi kita yang arif saja lah, yang bijak saja," imbau mantan Menhankam itu.
Wiranto juga mengimbau agar masyarakat mengikuti peraturan KPU (PKPU) dan Bawaslu. "Tatkala KPU Bawaslu mengatakan, kriteria minggu tenang itu begini, begini, begini, ikuti saja. Kalau ada yang melanggar itu, kepolisian nanti yang menindak," Wiranto menandaskan.
Pada kesempatan berbeda, Wiranto kembali mengingatkan masyarakat agar tidak mengganggu masa tenang Pilkada, dengan pengerahan massa di ruang publik.
"Dalam minggu tenang harus tenang, jangan dibikin ribut. Minggu tenang harus dihormati agar masyarakat bisa memilih dan mempertimbangkan dengan tenang," ucap Wiranto di kantornya, Jakarta, Senin 6 Februari 2017.
"Yang pasti dalam minggu tenang tidak diizinkan pengerahan massa di ruang publik. Kalau dilakukan akan tindak tegas," Wiranto menegaskan.
Wiranto kembali mengimbau agar semua pihak menjaga Pilkada 2017. Terlebih, pesta demokrasi ini menjadi sorotan negara lain.
"Namun, saya imbau untuk menjaga pilkada ini agar sukses karena dilihat oleh negara lain. Akan banyak perwakilan yang akan meninjau pilkada. Melihat apakah kita mampu jalankan proses demokrasi dengan baik, yang bermartabat," Wiranto menandaskan.
Tak hanya itu, Mendagri Tjahjo Kumolo juga mengimbau aksi 11 Februari atau 112 oleh ormas Islam tidak digelar. Sebab, hari tersebut sudah masuk masa tenang kampanye pilkada.
"Kalau saya pribadi ya, namanya minggu tenang ya harus tenang. Walaupun sifatnya itu tidak terkait dengan tiga paslon itu, apa pun izinnya tidak ada kaitan dengan pilkada. Tapi apa pun eksesnya, ini pasti akan mengganggu minggu tenang pilkada," ujar Tjahjo di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin, 6 Februari 2017.
Politikus PDI Perjuangan itu menyatakan, doa bersama bisa dilakukan usai pilkada serentak 15 Februari. "Setelah pilkada silakan, kalau mau membuat aktivitas apa pun harus izin ke kepolisian," kata Tjahjo.
Tjahjo menambahkan, pihaknya akan membawa usulan ini ke Menko Polhukam dan lembaga lain. "Saya minta namanya minggu tenang, setelah tanggal 15 (Februari) itu aja," Tjahjo menegaskan.
Jalan Santai
Seiring rencana sejumlah ormas menggelar aksi 11 Februari, banyak pihak menyebut aksi tersebut sarat bermotif politik lantaran dihelat menjelang masa tenang.
Namun, Sekretaris Jenderal Front Pembela Islam (FPI) Novel Bamukmin punya alasan lain. Menurut dia, pemilihan tanggal tersebut, karena memang mengincar akhir pekan sebelum masuk masa tenang.
"Kita mengambil tanggal 11 karena itu bukan masa tenang, mengambil momen hari libur (Sabtu). Mungkin mereka (massa) ini kan kalau Jumat mengganggu jalan, hari kerja, ya kita coba ini Sabtu," kata Novel di Jakarta Pusat, Selasa 7 Februari 2107.
Novel mengatakan, aksi 11 Februari murni dan benar-benar damai. Aksi ini berkonsep jalan santai, yang dimulai dari pagi hingga jelang siang, atau sebelum waktu salat Zuhur pukul 12.00 WIB.
"Mulai jam 7 pagi sampai sebelum Zuhur. Karena kita momennya bukan aksi ibadah kan, ini momennya jalan santai. Artinya, ajang silaturahmi yang betul-betul kita aksi super, super, super damai," kata dia.
Novel mengatakan, jumlah massa yang akan datang tidak semasif aksi damai 212. Aksi ini disebut lebih kepada aksi jalan kaki super damai dari Bundaran Hotel Indonesia hingga Monumen Nasional.
"Kalau ini kan (112) hanya sekadar mengingatkan, enggak ada aksi gelar sajadah lagi seperti kemarin. Sabtu besok kita cuma longmarch dari HI ke Monas," kata dia.
Meski demo kerap bersentuhan dengan isu politik, Novel menyatakan, aksi 11 Februari nanti bersih dari politik. Pihaknya akan menyeleksi sumber dana yang masuk, agar tidak ada tudingan bahwa yang mereka lakukan adalah aksi 'titipan'.
"Tidak ada (titipan). Kita menjaring donasi, kita buka rekening. Tidak ada parpol dalam aksi, lepaskan parpol, kita harus koordinasi mengingatkan (mengawal) Al Maidah ini adalah kewajiban," Novel memungkasi.
Advertisement
Mengawasi TPS
Polda Metro Jaya telah menerima surat pemberitahuan mengenai aksi FPI dan ormas Islam yang akan menyampaikan pendapat pada aksi 11 Februari 2017.
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol M Iriawan mengatakan, massa akan berkumpul di Masjid Istiqlal yang kemudian longmarch menuju Monas dan Bundaran Hotel Indonesia (HI).
"Selain itu, ada juga pengumpulan massa di tempat lain pada 12 Februari 2017, yaitu ada kegiatan khataman. Juga tanggal 15 ada salat subuh bersama," ujar Iriawan di Kantor KPUD DKI, Jakarta, Selasa 7 Februari 2017.
"Setelah itu, mereka akan ke TPS dan mengawasi TPS. Padahal, kita tahu TPS sudah ada pengawas dan saksi yang ada dari panitia, Polri, dan Linmas juga ikut mengawasi," dia melanjutkan.
Karena itu, Iriawan melarang adanya aksi 11 Februari, maupun masa tenang hingga hari pemungutan suara pada 15 Febrauari 2017.
"Kami sampaikan bahwa kami Polda Metro Jaya melarang kegiatan longmarch tersebut. Sekali lagi kami Polda Metro Jaya melarang," tegas Iriawan di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa 7 Februari 2017.
Iriawan menjelaskan, banyak aturan yang dilanggar bila aksi itu tetap dijalankan. Jenderal bintang dua itu menyebutkan, Pasal 6 UU Nomor 9 Tahun 1998 disebutkan, warga negara yang akan menyampaikan pendapat di muka umum harus memenuhi hak dan kebebasan orang lain.
Dia melanjutkan, massa aksi memang bebas berjalan, tapi mengganggu orang lain dengan melaksanakan longmarch dalam jumlah massa yang besar.
"Itu ada kegiatan sekolah, mau beribadah, mau ke kantor, dan lain sebagainya ada yang sakit sehingga nanti terhambat," kata Iriawan.
Kegiatan itu juga dinilai bisa mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Peraturan Gubernur juga tidak memperbolehkan adanya aksi di lokasi itu.
"Kami tegaskan kembali tanggal 11 bulan 2 kami melarang kegiatan tersebut. Apalagi itu menjelang kampanye terakhir, sehingga kami minta kepada elemen massa yang akan turun tanggal 11 untuk tidak melakukan kegiatan tersebut," ujar Iriawan.
Hal senada juga disampaikan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Boy Rafli. Dia mengimbau agar aksi 11 Februari diurungkan jika berbau politik atau mengganggu masa tenang Pilkada 2017.
"Polri menganjurkan tidak melakukan aktivitas yang dapat mengganggu proses pelaksanaan proses Pilkada pada tanggal 15, yakni hari pemungutan suara," kata Boy di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Senin 6 Februari 2017.
"Hari tenang ini akan diisi oleh penyelenggara pemilu untuk melakukan persiapan sarana dan prasarana, termasuk proses logistik pemilu," dia melanjutkan.
Polri sejatinya tidak mempermasalahkan aksi pada hari terakhir kampanye, 11 Februari 2017, dengan catatan jangan sampai menimbulkan kegaduhan atau tindak anarkis.
"Jika ada unjuk rasa, pengerahan massa dan sebagainya ya mohon yang penting tidak menimbulkan kegaduhan," ucap mantan Kapolda Banten itu.
Sementara, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, pihaknya telah menerima surat pemberitahuan dari Forum Umat Islam (FUI) terkait rencana aksi 11 Februari. Namun, polisi tak memberikan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP).
"Kami tidak berikan STTP. Jadi itu (aksi 112) tidak kita izinkan," ujar Argo di Mapolda Metro Jaya, Selasa 7 Februari 2017.
Argo melanjutkan, tak adanya izin kepolisian lantaran aksi tersebut dikhawatirkan mengganggu masyarakat. Apalagi, rencananya aksi tak hanya dilakukan pada 11 Februari, tapi berlanjut keesokan harinya. Polisi tak ingin aksi tersebut nanti justru memicu kericuhan yang dapat mengganggu Pilkada DKI.
"Alasannya tentu karena menjelang masa tenang dan pas masa tenang. Nanti ganggu yang lain," Argo menandaskan.
Argo menambahkan, surat pemberitahuan itu telah dilayangkan oleh FUI pada Kamis 2 Februari 2017. Aksi 11 Februari rencananya akan diikuti ribuan massa dari berbagai elemen masyarakat.