Liputan6.com, Jakarta - Beberapa waktu belakangan, politik Indonesia mempertontonkan sejumlah gerakan massa yang besar. Hal ini dilakukan agar pemerintah mendengar aspirasi mereka.
Namun, presiden ke-6 RI SBY menilai hal itu kurang tepat. Dia bahkan meminta penghentian pengerahan massa secara besar-besaran.
Baca Juga
"Pengerahan kekuatan massa dalam jumlah yang amat besar, dari pihak mana pun, barangkali sudah saatnya diakhiri. Gerakan massa yang berhadap-hadapan bisa menimbulkan benturan fisik dan kekerasan yang tidak kita kehendaki," ujar SBY dalam Dies Natalis HUT ke-15 Partai Demokrat di JCC, Senayan, Jakarta, Selasa (7/2/2017) malam.
Advertisement
Menurut dia, jangan sampai ada benturan horizontal di tengah masyarakat, seperti di masa lalu dengan adanya peristiwa Sampit, Poso, Ambon, bahkan serangan kaum radikal seperti ISIS malah memanfaatkan keadaan ini.
"Mungkin saya dituduh hanya menakut-nakuti. Melebih-lebihkan. Tidak, Saudara-saudara. Saya ikut memiliki dan sangat mencintai negeri ini," ujar SBY.
"Sudah sangat sering saya mendengar kata-kata 'negara harus hadir'. Sekaranglah saatnya negara benar-benar hadir. Hadir dan bertindak tepat, adil, dan bijak," ucap SBY.
Godaan Bertindak Otoriter
Selain itu, Ketua Umum Partai Demokrat tersebut mengatakan, ketika dirinya menjadi presiden, situasi politik yang gaduh dan panas juga dialami. Berbagai pihak melayangkan kritik dan sinis terhadap pemerintahan yang dipimpinnya.
"Kewibawaan dan kehormatan saya sering diserang dan dilecehkan secara vulgar," kata SBY.
Dalam kondisi ini, lanjut dia, godaan muncul. SBY mengaku terus disalahkan karena dinilai terlalu demokratis dan baik. Saran lain muncul agar dirinya lebih tegas dan keras terhadap pihak-pihak yang mengkritik pemerintahannya.
"Menurut mereka, represi dan pembatasan hak-hak rakyat untuk mengamankan kepentingan nasional adalah sah. Tidak salah," ucap SBY.
Tapi opsi itu tidak diambil. Karena menurut dia, kegaduhan dan serangan politik tidak membuat ekonomi lumpuh seperti yang mereka khawatirkan. Pemerintahan tetap berjalan dan ekonomi tumbuh dengan baik.
"Lantas, mengapa saya harus berubah menjadi pemimpin yang represif dan otoriter?" ucap SBY.
"Justru, barangkali saya harus berterima kasih kepada yang sangat kritis dan sinis dulu, meskipun kini semuanya berubah menjadi pendiam. Karena jasa merekalah pemerintahan yang saya pimpin tidak jatuh, dan saya bisa mengakhiri tugas saya tanpa halangan," pungkas SBY.