Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa NG Fenny, sekretaris pengusaha impor daging, Basuki Hariman, yang menyuap hakim konstitusi Patrialis Akbar, hari ini.
Pada pemeriksaan kali ini, Fenny dimintai keterangan oleh penyidik sebagai saksi dari tersangka Patrialis Akbar.
Basuki dan Fenny tertangkap saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK terkait penyuapan hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar.
Advertisement
"Hari ini terdapat kebutuhan pemeriksaan NG Fenny sebagai saksi atas tersangka PAK (Patrialis Akbar)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Jakarta, Rabu (8/2/2017).
Menurut dia, KPK akan terus mendalami peran serta saksi terkait kasus tersebut.
"Kami terus mendalami rangkaian peristiwa dan peran saksi di perusahaan terkait, dengan indikasi pemberian suap pada Hakim MK, Patrialis Akbar," ujar Febri.
NG Fenny sebenarnya tidak ada dalam jadwal pemeriksaan yang dipublikasikan oleh KPK. Dia datang ke Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan dengan menumpang mobil tahanan pada pukul 11.25 WIB dengan menggunakan rompi oranye tahanan KPK. Dia langsung berjalan cepat ke lobi saat tiba di gedung antirasuah.
Sebelumnya, Patrialis Akbar terjaring OTT di Grand Indonesia bersama seorang wanita. Dia ditangkap karena diduga menerima suap uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Selain itu, KPK ikut mengamankan Kamaludin (KM) yang diduga sebagai perantara suap.
Patrialis disangka menerima suap dari Basuki Hariman yang ditangkap bersama NG Fenny. Basuki merupakan bos pemilik 20 perusahaan impor daging, sedangkan NGF adalah sekretarisnya.
Basuki menjanjikan Patrialis Akbar uang sebesar US$ 20 ribu dan 200 ribu dolar Singapura. Sebagai penerima suap, Patrialis dan Kamaludin dijerat dengan Pasal 12 Huruf C atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2000 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara Basuki dan NG Fenny sebagai pemberi suap ke Patrialis Akbar dijerat dengan Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999, diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.