Liputan6.com, Jakarta - Euforia pesta demokrasi 5 tahunan dalam ajang Pilkada DKI 2017 berbanding terbalik dengan perasaan cemas warga Bukit Duri, Jakarta Selatan. Usai pencoblosan, mereka dikagetkan dengan tinggi air Ciliwung yang naik sampai ke permukiman, sehingga memaksa mereka segera mengungsi.
Sri Rahayu (54) bersama para ibu yang lain kini hanya bisa tinggal sementara di musala yang sebelumnya sempat terendam banjir. Meski sudah surut, kediamannya yang terletak di RT 1 RW 12 masih terendam air Ciliwung.
Sambil menggendong bayi anak perempuannya, dia menyiapkan logistik makanan siap saji untuk pengungsi yang lain. Ibu lainnya juga turut membantu merapikan lauk-pauk seadanya.
Advertisement
Sri mengatakan, sudah tiap tahun kerjaan dadakan itu dilakoninya. Bersama orangtua lainnya, dia melayani makan para pengungsi yang rumahnya masih kebanjiran.
"Bawah kan rendah ya, jadi gampang kelelep. Sebenarnya tadi sudah surut, tapi benar aja dirasanin bakal naik lagi, eh benar kan," tutur Sri saat berbincang dengan Liputan6.com di musala pegungsian sementara, Jumat (17/2/2017).
Sambil membentuk nasi menggunakan mangkuk, Sri mengeluhkan bahwa rasanya mustahil banjir Bukit Duri bisa teratasi. Sebab, sudah beberapa kali pergantian Gubernur DKI dilakukan, tapi tetap saja wilayah tinggalnya terdampak luapan Ciliwung.
Bahkan menurut Sri, sejak banjir terparah pada 2007, debit air yang menggenangi pemukiman selalu saja mencapai SMAN 8 Bukit Duri. Dengan tolak ukur itu, dia merasa belum ada perubahan berarti dalam upaya Pemprov DKI mengatasi banjir di daerah tersebut.
"Tiap tahun banjir. Pada 2016 enggak begitu tinggi. Terus sekarang (2017) lebih tinggi. 2015 sama-lah ya. Paling parah kan 2007 sampai atas banget banjirnya. Ini sebenarnya biasanya banjir gede gini 5 tahun sekali. Sekarang malah setahun sekali," ujar Sri.
Ibu tiga anak itu mengaku terus mengikuti perkembangan pemerintah dalam menanggulangi banjir di daerahnya. Melihat tetangga seberangnya, yakni Kampung Pulo, Jakarta Timur, yang kini tampak lebih tenang menghadapi banjir, Sri mengaku iri.
"Mudah-mudahan pengerjaannya (normalisasi Ciliwung) cepat selesai. Padahal, kan, sudah gusur-gusur ya, tapi masih banjir. Nanti selesai proyeknya semoga cepat biar enggak kebanjiran lagi mudah-mudahan," ujar Sri.
Kenangan Taman Bukit Duri
Warga lainnya, Mulyono (54), menambahkan dia bersama sejumlah warga lainnya, termasuk Sri, sudah hampir 30 tahun tinggal di lokasi yang sampai saat ini masih terendam banjir itu. Jika mengenang masa lalu, dia rindu dengan keberadaan Taman Bukit Duri.
Taman Bukit Duri disebutnya ada di sekitaran SMAN 8. Lokasi yang kini terlihat jadi lahan parkir baik untuk masyarakat sekitar maupun warga sekolah tersebut dulunya merupakan tempat berolahraga. Sejuk dengan banyaknya pepohonan dan nyaman untuk beristirahat.
"Di sini itu dulu tahun 80 ke bawah enggak pernah banjir. Dulu Ciliwung masih sangat lebar. Air selalu tertampung ngalir enggak pernah naik ke rumah warga. Nah, mulai tahun 85 ke atas, banjir mulai tuh. Mulai naik ke atas sampai Taman Bukit Duri SMAN 8 situ. Sampai sekarang setiap tahun kena terus SMAN 8," ucap Mulyono.
Setiap tahunnya, banjir yang melanda kawasan Bukit Duri selalu datang sore menjelang malam. Banjir baru surut di kemudian harinya pada sore hari.
"Kemarin masih pada sempat nyoblos tuh. Nah jam 14.00 WIB air Ciliwung kelihatan naik. RT udah imbau deh, tuh, kalau Katulampa siaga kan. Aduh udah pasti naik, deh. Ya udah pada ngungsi langsung. Bener naik," kata dia.
Jika memang terbilang sulit mengatasi banjir Bukit Duri, Mulyono bersama warga lainnya mengaku pasrah saja. Namun dia berharap Pemprov DKI sebaiknya membuat tanggul di kanan dan kiri Kali Ciliwung. Hal itu untuk memberi warga cukup banyak waktu mempersiapkan diri untuk evakuasi.
"Lebih baik bikin tanggul kanan kiri Ciliwung itu. Minimal ada penahannya. Jadi memperlambat air masuk. Kita jadi punya waktu buat ngungsi," Mulyono menandaskan.