Liputan6.com, Jakarta - Ahok kembali aktif bekerja sebagai Gubernur DKI Jakarta setelah cuti kampanye selama tiga bulan lebih. Alih-alih mendapat pujian karena langsung bekerja, Ahok harus menghadapi masalah baru.
Kembalinya pria bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama ini memimpin pemerintahan di DKI Jakarta yang kini diperebutkan di Pilkada 2017, dia menuai hujatan, bahkan kritikan.
Bukan hanya dari sekelompok masyarakat, DPR juga ikut bergerak menolak kepulangannya ke Balai Kota lantaran menyandang status terdakwa dugaan penistaan agama. Mereka ingin Ahok dinonaktifkan.
Advertisement
Bukan salah Ahok kembali menjabat sebagai orang nomor 1 di DKI Jakarta. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan, belum ada tuntutan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap perkara Ahok yang menyebut hukumannya di atas lima tahun. Dia tidak ingin menyalahi aturan.
"Saya harus adil. Kemarin ada gubernur terdakwa yang tidak kami berhentikan juga ada. Karena ancaman hukumannya di bawah lima tahun. Kasus DKI kan alternatif, makanya kami lebih enak ada masukan DPR, para pakar, dan minta pendapat MA," kata Tjahjo di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa, 14 Februari 2017.
Namun, sejumlah legislator di DPR tidak menerima pernyataan tersebut. Ada empat fraksi di DPR, yaitu Demokrat, Gerindra, PKS, dan PAN yang menginisiasi dibentuknya hak angket mengenai aktifnya Ahok di pemerintahan karena menyandang status terdakwa.
Saat usulan hak angket tersebut diberikan kepada pimpinan DPR, Senin, 13 Februari kemarin, jumlah anggota yang sudah membubuhkan tanda tangan sebanyak 90 orang.
Hak Angket Ahok
DPR resmi membacakan surat pengusul hak angket menonaktifan Ahok. Wakil Ketua DPR Fadli Zon sebagai pemimpin rapat paripurna yang membacakannya.Â
"Surat dari pengusul hak angket anggota DPR RI tertanggal 13 Februari 2017 mengenai penyampaian usulan penggunaan hak angket anggota DPR RI tentang pengaktifan kembali terdakwa Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta," ucap Fadli saat rapat paripurna di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Kamis, 23 Februari 2017.
Meski hanya beragendakan membacakan surat masuk dari para anggota Dewan, hujan interupsi tak dihindarkan.
Salah satunya datang Wakil Ketua Fraksi Partai Nasdem Johny G. Plate. Dia meminta agar pengajuan hak angket yang dikenal dengan Ahok Gate itu dicabut. Dia mengimbau dan mendorong rekan-rekan pengusung hak angket dicabut, mengingat bahwa saat ini perlu dipertahankan stabilitas politik dalam negara karena proses pilkada belum selesai.
Tak hanya itu, alasan lain yang diungkap Johny adalah proses hukum terhadap Ahok dalam sidang dugaan penistaan agama masih berlangsung. Jaksa penuntut umum (JPU) pun belum mengajukan tuntutan.
Sementara perwakilan dari Fraksi PKS Refrizal ikut angkat bicara. Menurut dia, pengajuan hak angket ini sudah sesuai dengan undang-undang di mana terdapat lebih dari 25 orang dari lebih satu fraksi mengusulkan hak angket tersebut.
Selain itu, Presiden Joko Widodo diduga kembali melanggar UU karena mengaktifkan kembali Ahok yang berstatus terdakwa. Pengaktifan ini juga dinilai melanggar undang-undang karena masih dalam masa kampanye.
"Presiden harus mengambil sikap untuk menonaktifkan terdakwa penista agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Pengaktifan kembali juga melanggar UU serta peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2016 saat kampanye pada Sabtu jam 15.30 tanggal 11," tutur Refrizal.
Meski banyak interupsi, hak angket ini untuk selanjutnya dibawa ke Badan Musyawarah (Bamus) DPR.
Kepentingan Pilkada DKI?
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang melihat upaya hak angket pengaktifan Ahok memimpin DKI Jakarta ini sangat erat dengan Pilkada DKI Jakarta, yaitu memperebutkan kursi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Apalagi, fraksi-fraksi di DPR yang mengajukan hak angket Ahok ini bukan partai pendukungnya di Pilkada DKI 2017. Ahok dan Djarot Saiful Hidayat didukung Partai Nasdem, Partai Hanura, Partai Golkar, dan PDIP.
"Upaya angket ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik Pilkada Jakarta. Hal itu terlihat dari fraksi yang semangat mendorong angket adalah fraksi pendukung calon tertentu atau lawan politik Ahok di Jakarta," ucap Salang.
Dia menuturkan, semangat hak angket seperti ini kurang baik. Sebab, tujuannya tidak murni untuk menegakkan aturan, tetapi lebih karena tujuan politik tertentu.
Senada, rekan sejawatnya, Lucius Karus, memandang beberapa fraksi di DPR mulai memanas terkait usulan hak angket Ahok lantaran adanya tuntutan kemenangan serta Pilkada DKI 2017 yang diprediksi akan berlangsung dua putaran.
"Tuntutan kemenangan yang berimbas pada persaingan panas selama masa kampanye, membuat partisipasi anggota DPR dalam kampanye pilkada kian intens. Padahal, para anggota DPR ini pada saat bersamaan sedang dalam masa persidangan. Kesibukan mereka terlibat dalam kampanye selama masa persidangan membuat kinerja mereka bertambah buruk," ucap Lucius.
Menurut data Formappi, sepanjang Januari sampai Februari tidak ada UU yang disahkan DPR. Bahkan, revisi UU MD3 yang hanya terkait beberapa pasal terbatas pun tak lagi kedengaran pembahasannya.
"Begitu pula revisi UU ASN. Sesekali hanya terdengar soal pembahasan RUU Pemilu, tapi juga belum menunjukkan kemajuan berarti. Saya kira kinerja legislasi yang berantakan itu karena pada saat bersamaan hampir semua anggota DPR terlibat sebagai tim pemenangan paslon Pilkada 2017 ini," pungkas Lucius.
Advertisement