Liputan6.com, Ambon - Peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan, pemilihan umum (pemilu) di Indonesia belum didesain untuk kebutuhan sistem presidensial. Pemilu di Tanah Air masih bersifat parlementer.
Akibatnya, kata dia, pemilu di Indonesia belum menghasilkan lembaga politik yang menjunjung tinggi kepentingan rakyat.
"Pemilu di Indonesia belum menghasilkan lembaga politik yang memperjuangkan kepentingan publik," kata Syamsuddin dalam Seminar Tanwir Muhammadiyah Kedaulatan Politik, Hukum, dan Ekonomi, di Ambon, Sabtu (25/2/2017).
Advertisement
Oleh karena itu, lanjut dia, perbaikan politik menjadi tantangan dalam konteks pemilu legislatif. Pembenahan pemilu sangat penting dilakukan, terutama pada kualitas partai dan politikus, sehingga tidak membuka peluang bagi siapa saja yang tidak amanah, kompeten dan akuntabel, untuk maju menjadi wakil rakyat.
"Apabila kualitas partai politik baik, maka bangsa juga akan menjadi baik. Tantangannya adalah bagaimana pemilu ini akan menghasilkan tokoh yang amanah dan akuntabel, serta memiliki visi kebangsaan dan komitmen untuk maju, yang tetap didasar pada kedaulatan rakyat," kata Syamsuddin seperti dilansir Antara.
Menurut dia, publik hendaknya lebih dilibatkan dalam proses pemilu, sehingga ada transparansi. Tapi umumnya partai politik tidak mampu mendiskusikan hal tersebut.
Terkait itu, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam besar di Indonesia, diharapkan lebih berperan dalam perbaikan konstitusional di Tanah Air, dengan menempatkan kader terbaik melalui partai politik.
"Partai politik menikmati situasi ini sebagai berkah dan tak kunjung berubah. Di sini posisi penting Muhammadiyah dan NU dalam memberikan tekanan publik," tandas Syamsuddin.