Liputan6.com, Jakarta - Beatbox semakin familiar terdengar di kalangan pencinta musik Indonesia selama satu dekade terakhir. Musik yang keluar lewat mulut pemainnya dengan mengimitasi suara perkusi itu kini terus menyebar ke sejumlah tempat.
Beatbox menjadi musik yang mudah dimainkan Beatboxer--sebutan untuk pemain beatbox di mana pun dan kapan pun. Ini seperti yang dilakukan Laurentius Rando (24), Malvin Johanes (23) dan Gustaf Sailendra (23), penggawa grup Jakarta Beatbox, di kawasan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak, Kalijodo, Jakarta Barat, Sabtu sore, 18 Februari 2017.
"Ini namanya beatbox street performance," ucap Laurentius Rando (24), seorang penggawa Jakarta Beatbox, kepada Liputan6.com.
Advertisement
Sinar matahari cukup terik sore itu. Gazelle, sapaan Laurentius Rando, tak memedulikan cuaca di sekelilingnya. Ia bersama Malvin dan Gustaf sudah punya keinginan menampilkan irama musik untuk menghibur warga tengah bermain di area taman.
"Mbum… cik… dug.. jad… jedug.." demikian suara-suara musik tersebut keluar bergantian dari mulut Gazelle, Malvin dan Gustaf bergantian menirukan suara perkusi.
Suara mereka nyaring terdengar bak irama ketukan drum atau efek suara dari turntable yang dimainkan seorang disc jockey. Mendadak warga bertepuk tangan melihat penampilan para seniman ini. Sebab, tak ada bantuan alat selain microphone dan sound system yang mereka bawa.
"Keren," ucap Anto, seorang warga yang menyaksikan beatbox street performance itu. Lelaki asal Duren Sawit itu mengaku heran karena beatboxer bisa mengeluarkan suara-suara yang mirip hentakan bit drum atau efek-efek musik lainnya.
Jauh sebelum musik ini berkembang, beatbox bermula dari kebiasaan musikus hiphop pada dekade 1980-an. Kala itu, bunyi beatbox digunakan untuk menggantikan peran drum elektrik yang biasa dipakai di industri musik.
Kebiasaan ini tak semata iseng. Hiphop kala itu masih dianggap musik kelas bawah yang biasa dimainkan warga Afro-Amerika. Sementara harga drum elektrik mahal untuk dibeli. Sehingga, mereka berusaha menirukan bunyi drum dengan suara mulut.
Hingga dekade 2000-an beatbox menjadi fenomenal. Michael Proctor dalam hasil risetnya berjudul Paralinguistic Mechanisms of Production in Human Beatboxing: A Real-Time Magnetic Resonance Imaging Study mencoba menjelaskan bagaimana mulut menirukan bunyi suara drum.
Menurut Protcor, beatbox merupakan bentuk artistik produksi suara manusia yang menggunakan organ mulut untuk meniru suara perkusi. Suara musik yang dimainkan beatboxer, kata Protcor, mungkin tak terdengar seperti musik konvensional.
Ini karena mereka belajar meniru suara dengan pola tertentu. Usaha mempelajari pola ini membuat beatboxer menemukan teknik dalam memainkan bunyi suara.
Gustaf Sailendra, pegiat lain dari grup ini, menyebut tak gampang bisa menjadi beatboxer seperti saat ini. Gustaf mengungkap pengalaman saat dirinya pertama kali mencoba belajar beatbox.
Lelaki yang punya kemampuan menggabungkan teknik-teknik beatbox ini menerangkan, dia awalnya belajar autodidak, mulai sekitar delapan tahun silam. Kala itu beatbox mulai booming. Namun, baru sedikit orang yang mengenal teknik varian musik yang berakar dari genre hiphop ini.
"Gue sebelumnya belajar dari YouTube," kata Gustaf menceritakan pengalaman yang juga dirasakan Gazelle dan Malvin.
Belajar autodidak tak serta-merta membuat Gazelle, Gustaf, dan Malvin langsung menjadi mahir bermain beatbox. Malvin, penggawa lainnya, mengungkap cerita ihwal konsekuensi yang harus dia terima dari belajar sendirian.
Ia mengaku teknik yang harus dikuasai seorang beatboxer cukup sulit. Menurut Malvin, mulutnya pernah mengeluarkan darah lantaran tenggorokannya terluka akibat mencoba mempraktikkan salah satu teknik.
Rupa-rupanya, teknik yang Malvin pelajari salah. Sehingga membuat dirinya harus beristirahat sejenak untuk tak bermain beatbox. "Karena teknik salah, beberapa bulan istirahat," ucap Malvin.
Membangun Sekolah Beatbox
Pengalaman yang dialami Gustaf dan Malvin menjadi cerita tersendiri. Gazelle yang lebih tua setahun dari keduanya mengaku tak mengalami kesulitan berlebih saat pertama kali belajar. Teknik beatbox yang dia pelajari malah membuat dirinya punya banyak kesempatan untuk menampilkan keahlian.
Konsekuensi yang harus diterima Gazelle lain dari Malvin. Ia kebagian rezeki dari hobi yang dijalani. Gazelle mengaku dirinya mendapat banyak tawaran untuk manggung. Lantaran sekitar 2009, kata dia, booming beatbox mulai membumbung ke mana-mana.
Selepas bangku SMA, kata Gazelle, tawaran makin tak bisa dibendung. Ia mengaku tawaran untuk mengajar datang bertubi-tubi. Banyak sekolah menghendaki dirinya menjadi guru ekstrakurikuler (ekskul). "Sekolah-sekolah pada minta aku untuk mengajar ekskul beatbox," ucap Gazelle.
Setahun lebih Gazelle mengajar di sejumlah sekolah menengah atas. Hingga akhirnya dia kewalahan lantaran harus menjaga kuliah dan pekerjaan. Apalagi, Gazelle saat itu baru menginjak tingkat pertama bangku kuliah.
Situasi ini membuat Gazelle sedikit kebingungun. Ia akhirnya memutuskan untuk membuka studio les private beatbox di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan, sekitar tahun 2010. Studio les yang awalnya bernama Gazelle Beatbox School ini ternyata banyak diminati.
Belakangan, Gazelle mengganti nama studio les tersebut menjadi Sekolah Beatbox Indonesia. Perubahan nama membuat peminat kian bertambah. Satu per satu peminat les berdatangan.
Hingga akhirnya Gazelle kewalahan dan harus mengajak beberapa teman, termasuk Gustaf, untuk bergabung dan membantu mengajar. "Gue enggak mungkin ngebiarin orang yang request. Karena yang datang request banyak banget, akhirnya gue minta bantuan," ucap Gazelle.
Gazelle akhirnya bertugas sebagai kepala sekolah. Sedangkan Gustaf menjadi pengajar di studio. Belakangan, Gazelle memutuskan membuka kelas homeschooling sekitar 2015 dan meminta Malvin menjadi gurunya.
Persoalannya, banyak peminat yang akhirnya batal belajar karena kelas les sudah penuh. Sementara, proses pembelajaran di studio les ini bisa berjalan lebih dari tiga bulan. Akibatnya, banyak peminta yang harus menunggu hingga sembilan bulan.
Malvin yang menjadi guru homeschooling menuturkan, tawaran yang diajukan Gazelle membuat dirinya senang. Apalagi Malvin tak mau kemampuan yang sudah dia miliki hanya dimiliki seorang diri.
"Kalau gue bisa bagiin dan itu berguna, ya gue bagiin aja. Toh ini lahan yang bisa menghasilkan (uang) juga. Apalagi penghasilan itu lewat jalan yang gue suka juga," ujar Malvin.
Namun, membangun sekolah ini bukan hal mudah. Ada saja rintangan yang harus dihadapi Gazelle, Gustaf, dan Malvin. Ketiga penggawa Jakarta Beatbox yang juga guru di Sekolah Beatbox ini menjadi bahan perundungan bagi pegiat beatbox dari komunitas lain.
Menurut Gazelle, perundungan yang mereka terima bahkan hampir mengusik mata pencaharian mereka. Lantaran, banyak komunitas tak setuju Jakarta Beatbox membuat Sekolah Beatbox Indonesia. Ketidaksetujuan itu dikarenakan pengajar di sekolah dianggap junior.
"Tapi itu challenge-nya," ucap Gazelle sembari tersenyum.Â
Advertisement
Mencari Teknik Beatbox
"Lu punya kompetensi apa, lu ngajar sok-sokan dosen? Gue aja yang lebih senior dari lu enggak ngerasa dosen," demikian sejumlah komentar bernada perundungan yang harus dihadapi Gazelle, Gustaf, Malvin, dan pengajar lain di Sekolah Beatbox Indonesia terkait keberadaan sekolah.
Komentar-komentar tersebut diajukan sejumlah penggawa komunitas beatbox lain terhadap mereka. Menurut Gazelle, hal itu tak lantas membuat mereka menyerah dengan keadaan. Sebaliknya, menjadi alasan untuk tetap berkreasi dan mengembangkan teknik.
Keinginan berkreasi dan mengembangkan teknik ini, diakui Gustaf, kadang tak bisa ditampung dalam sebuah komunitas. Jumlah anggota komunitas yang terlalu banyak menjadi halangan buat anggota lain buat berkembang.
"Enggak bisa intensif. Padahal beatbox itu harus intensif dan fokus," ucap Gustaf.Â
Lain Gustaf, lain pula Malvin. Bagi Malvin, komunitas biasanya hanya memberi peluang berkarya dan mengembangkan diri untuk orang yang itu-itu saja. Ini jadi soal buat dia. Sebab, kata Malvin, seorang beatboxer butuh kesempatan untuk bisa menampilkan kemampuan teknik.
Kelemahan-kelamahan komunitas ini yang dipahami Gazelle. Lewat Sekolah Beatbox Indonesia, Gazelle ingin memberi ruang dan kesempatan peminat beatbox untuk bisa lebih fokus dan intensif mengembangkan kemampuan.
Gazelle bersama teman-temannya di Sekolah Beatbox Indonesia kemudian meramu rumus teknis yang bisa dengan mudah dipelajari. Rumus teknis ini yang mereka ajarkan.
Rumus teknik dasar yang mereka ajarkan sama dengan yang umumnya diajarkan beatboxer lain. Yakni rumus B-T-K yang diucapkan bolak-balik, untuk meniru bunyi kick, snare, dan cymbal drum. Ketiga huruf itu diucapkan dengan menghilangkan suara vokal pada tiap pengucapan huruf dan menggunakan otot mulut.
Teknik ini yang diidentifikasi Michael Proctor dalam studinya. Proctor menemukan efek tiruan suara bisa dijelaskan dengan IPA, alfabet khusus yang dirancang untuk deskripsi perbedaan dan persamaan dalam menentukan rumpun bahasa.
Bahkan dalam temuan Proctor, efek tiruan tertentu yang digunakan beatboxer ini mendekati pelafalan konsonan sejumlah bahasa di kawasan Afrika. Ini menjadi tidak mengherankan. Lantaran, beatbox merupakan varian dari musik hiphop yang awalnya berasal dari kalangan Afro-Amerika.
Di luar soal teknik tersebut, Gazelle, Gustaf, dan Malvin merasa beatbox merupakan bentuk kreativitas. Sebab, mereka mengakui beatbox sudah membawa mereka bisa merasakan sensasi yang belum tentu dirasakan orang lain yang bermain musik dengan menggunakan alat.
"Beatbox itu unik dan asik. Bahkan saat lagi di jalan kena macet, kita bisa ngebeatbox meski pakai helm," ucap Malvin sembari tertawa.