Liputan6.com, Jakarta - Informasi mengenai masa lalu Bogor jarang diketahui orang lantaran terbatasnya artikel dan buku yang membahasnya. Kekurangan informasi itu bakal agak tertutupi oleh dua buku, Bogor Zaman Jepang 1942-1945 dan Bogor Masa Revolusi 1945-1950, yang diluncurkan bersamaan di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu, 8 Maret 2017.
Hadir dalam acara tersebut Prof Susanto Zuhdi dari Departemen Sejarah Universitas Indonesia sebagai penulis buku Bogor Zaman Jepang 1942-1945; Edi Sudarjat, mantan wartawan yang melakukan riset dan menulis buku Bogor Masa Revolusi 1945-1950; JJ Rizal dari Komunitas Bambu selaku pihak penerbit buku; Aiko Kurasawa, profesor dari Keio University yang menulis Kuasa Jepang di Jawa; Profesor Saleh As'ad Djamhari, penulis Strategi Menjinakkan Diponegoro; dan Bima Arya Sugiarto, Wali Kota Bogor.
Suasana diskusi cukup meriah dan hangat dengan para peserta yang antusias mengikuti acara. Terbukti tempat yang disediakan pihak Perpustakaan UI di lantai tiga tidak cukup menampung peserta yang membeludak.
Advertisement
Dalam sambutannya, Bima Arya mengapresiasi terbitnya kedua buku ini karena mampu mendudukkan kembali peran Bogor sebagai kota pejuang dan kota revolusi. Bima Arya menegaskan, penting untuk kembali menempatkan Bogor dalam pergerakan nasional, terutama karena Bogor sempat dijadikan sebagai markas Pejuang Tanah Air (PETA).
Ia juga menekankan, Republik Indonesia dibangun antara lain oleh orang-orang yang menyandingkan antara nasionalisme dan agama. Bogor juga mempunyai tokoh-tokoh yang luar biasa, antara lain M Tubagus Alam, KH Sholeh Iskandar, dan Abdullah bin Nuh. Menurut Bima Arya, para pejuang revolusi menyandingkan pistol dengan tasbih dalam membela negara.
"Jadi Bogor yang fundamental mengambil keteladanan antara agama dan negara. Kalau keluar dari situ, berarti Bogor kehilangan khittah-nya," ujar Bima Arya.
Sebelum pelaksanaan diskusi, sempat pula diputarkan video singkat mengenai Kota Bogor dari masa lalu hingga sekarang. Bima Arya pun menjelaskan bahwa di Lawang Salapan terpampang semboyan Kota Bogor, yakni 'Dinu Kiwari Ngancik Nu Bihari, Seja Ayeuna Sampeureun Jaga'. Artinya, segala hal di masa kini adalah pusaka masa silam dan ikhtiar hari ini adalah untuk masa depan.
Bima Arya menegaskan, semboyan ini selalu diucapkan pada saat pembukaan dan penutupan sidang paripurna Kota Bogor. Menurut dia, jika gagal membaca sejarah, maka gagal pula di masa depan.
Ia juga menyayangkan anak-anak muda di Kota Bogor yang kurang mengetahui tentang sejarah kotanya sendiri.
"Buktinya", ujar dia, "anak-anak muda hanya tahu Jalan Abdullah bin Nuh yang setiap hari selalu macet itu."
"Hingga saat ini anak-anak di Bogor yang malas membaca buku, yang malas pergi ke perpustakaan, yang tidak tahu akan sejarah tentang kotanya selalu bertanya melalui media sosial Instagram maupun Whats Apps tentang arti slogan yang terpampang di Lawang Salapan," ujar Bima lagi.
Membaca Bogor dari Masa Lalu
Susanto Zuhdi mengatakan Bogor Zaman Jepang 1942-1945 merupakan skripsinya di Universitas Indonesia pada 1979, hampir 40 tahun yang lalu. Karena itulah, ia mengingatkan membaca buku ini harus mendudukkan kembali perkembangan kajian pada masa itu tanpa mengevaluasi dengan standar terkini.
Terbitnya buku ini melengkapi tesis dan disertasinya yang sudah diterbitkan lebih dulu, yakni tesis berjudul Cilacap 1830-1942: Bangkit dan Jatuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa dan disertasi Sejarah Buton yang Terabaikan Labu Rope Labu Wana.
Namun, Susanto Zuhdi mengakui ada perasaan asing ketika membaca karya skripsinya yang lampau itu. "Maka harus dilihat bahwa yang menulis ini adalah Susanto Zuhdi yang bukan seorang profesor," ucapnya sambil tertawa. Saat itu ia mengaku dipaksa mengambil tema soal ini oleh pembimbingnya, Prof Nugroho Notosusanto.
Susanto menegaskan kajian sejarah sangat diperlukan karena memahami sejarah adalah memahami perubahan. Kajian di masa Jepang pun menjadi penting karena karakter pemuda dibentuk di masa Jepang.
Hal itu pun disambut baik oleh Aiko Kurasawa yang menyayangkan minimnya peneliti di masa kini yang tak lagi mengkaji sejarah Indonesia di masa pendudukan Jepang. Dia berpendapat alasannya ada dua. "Pertama, narasumber tidak ada, kebanyakan sudah meninggal, sehingga harus dicari lagi sumber-sumber yang baru," ujar dia.
Kedua, sumber-sumber tertulis juga sulit dicari. "Namun arsipnya masih banyak di Belanda, khususnya Den Haag," ujar penulis Masyarakat dan Perang Asia Timur Raya ini.
Adapun Edi Sudarjat lebih menyoroti pentingnya penetapan KH Sholeh Iskandar sebagai pahlawan nasional. Sebab meski telah diajukan oleh MUI sejak 1995, sampai sekarang KH Sholeh Iskandar belum diangkat menjadi pahlawan nasional. "Salah satunya karena belum adanya biografi," ujar Edi Sudarjat.
Lagipula, Edi menambahkan, Kiai Sholeh sangat rendah hati. Ia tidak mau jasanya diketahui, sehingga orang tidak tahu pencapaiannya. "Bahkan Kiai Sholeh pernah berpesan jika ada orang yang mencari data-data tentang dirinya jangan dikasih," tulis Edi Sudarjat dalam bukunya.
Padahal, KH Sholeh Iskandar memiliki prestasi yang bersifat daerah, nasional, dan internasional. "Dia komandan Batalion O yang punya peran penting dalam pergerakan Indonesia merdeka, salah satu pendiri LPPOM MUI, pendiri Rumah Sakit Islam Bogor, pendiri Universitas Ibnu Khaldun Bogor, dan pendiri perusahaan karoseri pertama di Indonesia pada 1959 bernama PT Gunung Tirtayasa," tutur Edi Sudarjat.
Sementara itu, Prof Saleh As’ad Djamhari menyoroti masyarakat Bogor pada masa itu yang sangat religius. Salah satunya adalah setiap masjid pada setiap hari Jumat selalu menyerukan untuk cinta Tanah Air.
Ia mengatakan Jepang tahu betul peran vital kiai dalam masyarakat. "Karena itu untuk memperoleh dukungan, Jepang harus mendekati ulama," ujar Saleh As'ad Djamhari.
Advertisement