Sukses

Jaksa KPK Beberkan Penerima Aliran Dana Kasus E-KTP

Dua terdakwa kasus e-KTP didakwa memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto menjalani sidang dakwaan kasus e-KTP di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (9/3/2017).

Pada dakwaannya, jaksa menyebut Irman menerima keuntungan sebesar USD 877.700 dan SGD 6 ribu dari keuntungan proyek e-KTP pada 2011-2013. Irman saat itu merupakan kuasa pengguna anggaran. Sedangkan terdakwa Sugiharto dinilai telah memperkaya diri sendiri senilai USD 3.473.830.
‎‎
"Terdakwa dinilai telah memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi," ujar jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Irene Putrie saat membaca dakwaan, Jakarta, Kamis.

Dia menyebutkan sejumlah orang lain yang ikut menerima aliran dana tersebut. Orang yang menerima aliran dana itu antara lain mantan Mendagri Gamawan Fauzi sebesar USD 4.500.000 dan Rp 50 juta; mantan Sekjend Kemendagri, Diah Anggraini USD 2.700.000 dan Rp 22,5 juta; serta ‎Drajat Wisnu Setyawan senilai USD 615.000 dan Rp 25 juta.

Ada juga enam anggota lelang masing-masing sejumlah USD 50 ribu, serta Administrasi Kependudukan di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kemendagri Husni Fahmi sejumlah USD 150 ribu dan Rp 30 juta.

Selain itu, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum sejumlah USD 5,5 juta; mantan Ketua Badan Anggaran DPR, Melchias Marchus Mekeng senilai USD 1,4 juta; mantan wakil Ketua Banggar DPR, Olly Dondokambey senilai USD 1,2 juta; mantan Wakil Ketua Banggar DPR, Mirwan Amir senilai USD 1,2 juta; dan mantan Wakil Bangar DPR Tamsil Linrung senilai USD 700 juta.
‎
‎Sementara anggota komisi II DPR RI ‎Arief Wibowo, menerima senilai USD 108 ribu; mantan Ketua Komisi II DPR, Chairuman Harahap USD 584 ribu; mantan anggota Komisi II DPR RI yang kini menjabat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo senilai USD 520 ribu; mantan Ketua Komisi II Agun Gunanjar Sudarsa menerima USD 1,047 juta; Mustoko Weni senilai USD 408 ribu; mendiang Ignatius Mulyono senilai USD 258 ribu; dan Taufiq Effendi sebesar USD 103 ribu.
‎
Teguh Juwarno sejumlah USD 167 ribu; Miryam S Haryani sejumlah USD 23 ribu; Sedangkan Rindoko, Numan ‎Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz dan Jazuli Juwaini selaku Kapoksi pada Komisi II DPR RI saat itu, kata Jaksa Irene, kebagian korupsi e-KTP masing-masing senilai USD 37 ribu.

Bukan cuma itu, lanjut Irene, anggota Komisi II yang kini menjabat sebagai ‎Menkumham Yasonna Laoly juga ikut kecipratan uang dalam kasus e-KTP. Nilainya sebesar USD 84 ribu.

Sementara Markus Nari kebagian Rp 4 miliar, dan Khatibul Umam Wiranu kecipratan USD 400 ribu, mantan Ketua Fraksi Demokrat Djafar Hafsah senilai USD 100 ribu, anggota DPR Ade Komaruddin sejumlah USD 100 ribu, serta mantan Ketua DPR RI, Marzuki Alie Rp 20 miliar ‎
‎
Jaksa Eva Yustisiana menambahkan, selain nama-nama disebutkan tadi, ada pihak yang turut terima uang harap proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun itu. Antara lain yakni Abraham Mose, Darma Mapangara, Agus Iswanto, Andra Agusalam selaku direksi PT Len Industri masing-masing mendapat Rp 1 miliar. Sedangkan Wahyudin Bagenda selaku Dirut PT Len kebagian Rp 2 miliar.

"(Kemudian) Yohannes Marliem sejumlah 14.880.000 dollar AS dan sekitar Rp 25 miliar," kata jaksa Eva.

Sementara 37 anggota komisi II lainnya juga ikut kebagian korupsi e-KTP yang totalnya mencapai USD 556 ribu. Jaksa Eva mengatakan masing-masing legislator mendapat sekitar antara USD 13 ribu - 18 ribu, dan 7 anggota Fatmawati juga kebagian masing-masing Rp 60 juta.

Uang korupsi e-KTP yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun ini juga mengalir ke beberapa korporasi. Antara lain, kata Eva, ke PNRI senilai Rp 107 miliar dan managemen bersama konsorsium PNRI sekitar Rp 137 miliar.
‎
Sementara PT Sandipala Artha Putra kecipratan sekitar Rp 145 miliar dan PT Mega Lestari selaku holding company PT Sandipala mendapat sekitar Rp 148 miliar.
‎
"(Kemudian)‎ PT Len Industri sebesar Rp 20.925.163.862, PT ‎Quadra Solution Rp 127.320.213.798 dan PT Sucofindo sebesar Rp 8.231.289.362," kata Jaksa Eva. ‎

Untuk diketahui, selain korupsi berjamah itu, dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto juga terkuak adanya suap menyuap dalam memuluskan anggaran proyek e-KTP ini. Nilai suap dalam kasus e-KTP ini cukup fantastis, yakni mencapai Rp 1 triliun.

2 dari 2 halaman

Ramai-Ramai Membantah

Sejumlah nama yang disebut menerima aliran dana dalam kasus e-KTP ini telah membantah hal itu. Salah satunya, mantan Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo, yang juga Gubernur Jawa Tengah. Ganjar sempat diperiksa pada 7 Desember 2016. Dia pun membantah turut menerima aliran duit dari pembahasan proyek e-KTP. Hal itu juga menjadi bagian yang ditanyakan oleh penyidik KPK dalam pemeriksaan tersebut.

"Saya pastikan saya tidak terima," kata Ganjar saat dihubungi dari Jakarta, Rabu 8 Maret 2017.

Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey, yang diperiksa pada 26 Januari 2017 juga membantahnya. "Kalau ada bukti, lu kasih lihat, gua tuntut lu," ujar Olly dengan nada tinggi usai diperiksa penyidik di Gedung KPK, HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis itu.

Anas Urbaningrum juga sempat diperiksa penyidik KPK pada 11 Januari 2017.

Ada nama besar lain yang sempat disebut Nazaruddin, yakni Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Jafar Hafsah, yang diperiksa KPK pada 5 dan 21 Desember 2016.

Jafar Hafsah, membantah turut ‎menerima aliran dana proyek pengadaan e-KTP pada 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri. Dia berdalih masih duduk di Komisi IV saat anggaran proyek itu dibahas bersama Komisi II DPR.

"E-KTP itu saya ada di Komisi IV. Sedangkan e-KTP itu ada di Komisi II. Jadi saya tidak, tidak paham persis daripada e-KTP dan perjalanannya,‎" ujar Jafar usai pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Senin 5 Desember 2016.

Selain Jafar Hafsah, Nazaruddin menyebutkan pihak lain yang menerima aliran dana tersebut, yakni dari kementerian; mantan Menteri Keuangan era SBY, Agus Martowardojo yang pernah diperiksa KPK pada 1 November 2016.

Pada pemeriksaan tersebut, Agus menegaskan juga membantah tudingan itu. Dia mengaku justru dia lah yang menolak kontrak skema tahun jamak atau multiyears, bukan Sri Mulyani.

"Saya juga dengar ada kalimat bahwa saya jadi Menkeu menggantikan Sri Mulyani 20 Mei 2010, sebelum ini ada penolakan multiyears contract oleh Sri Mulyani. Saya katakan di dalam file tidak ada penolakan dari Sri Mulyani, yang ada ketika multiyears contract mau diajukan ke Menkeu, diajukan 21 Oktober 2010, dan di 13 Desember 2010 ditolak oleh saya," tutur Agus.