Sukses

Gamawan Fauzi, Tokoh Antikorupsi yang Terseret Kasus E-KTP

Nama Gamawan Fauzi disebut dalam dakwaan saat sidang perdana kasus e-KTP.

Liputan6.com, Jakarta - Gamawan Fauzi terseret dalam kasus korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP). Namanya disebut dalam dakwaan di sidang kasus e-KTP Kamis kemarin. Dalam dakwaan tersebut, mantan Menteri Dalam Negeri itu disebut turut menikmati uang sebesar US$ 4,5 juta dan Rp 50 juta.

Tudingan itu mengejutkan banyak kalangan. Sebab, rekam jejak peraih Doktor Ilmu Pemerintahan itu terkenal bersih. Bahkan, dia menerima penghargaan yang prestisius.

Saat menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dia dikenal dengan konsep good, clean, and efficient governance.

Bahkan, dia juga pernah mendapat penghargaan Bung Hatta Award atas keberhasilannya memerangi korupsi pada saat menjadi Bupati Solok. Penghargaan itu disematkan pada Gamawan Fauzi atas konsistensinya dalam menegakkan aturan dan antikorupsi.

Untuk itu, Gamawan dua kali terpilih menjadi Bupati Solok. "Jujur saya katakan, tak ada satu sen pun saya keluar uang untuk meraih jabatan kedua kali sebagai Bupati Solok," kata Gamawan pada 2000 lalu.

Ia mengaku sejak awal menjadi pejabat, sudah mewanti-wanti dan mendidik ketiga anaknya untuk hidup sederhana, memakan, dan menikmati apa yang menjadi hak dan halal.

Gamawan menjabat sebagai Bupati Solok selama 10 tahun, dari 1995 hingga 2005. Setelah itu, ia sukses keluar sebagai pemenang dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Barat pada 2005.

Namun, belum habis masa baktinya, Gamawan langsung ditunjuk oleh Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengisi pos Menteri Dalam Negeri di Kabinet Indonesia Bersatu II.

Selain Bung Hatta Award, Gamawan Fauzi juga pernah meraih Bintang Mahaputra Utama pada 2009, Charta Politika Award untuk kategori pemimpin kementerian/lembaga pemerintah non kementerian berpengaruh di media pada 2010, serta penghargaan dari Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia pada 2012.

2 dari 2 halaman

Kata Gamawan Soal Kasus e-KTP

Gamawan adalah salah satu dari nama besar yang terseret dalam kasus e-KTP. Jaksa Irene mengungkapkan, pada akhir November 2009, Gamawan Fauzi sebagai Menteri Dalam Negeri kala itu mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) No.471.13/4210.A/SJ untuk mengubah sumber pembiayaan proyek e-KTP, yang semula menggunakan Pinjaman Hibah Luar Negeri menjadi anggaran murni.

Perubahan sumber pembiayaan itu, lanjut dia, dibahas dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat antara Kementerian Dalam Negeri dan Komisi II DPR. Kemudian pada awal Februari 2010, setelah mengikuti rapat membahas anggaran Kementerian Dalam Negeri, Terdakwa Irman diminta sejumlah uang oleh Burhanudin Napitupulu selaku Ketua Komisi II DPR ketika itu.

Setelah melakukan serangkaian pertemuan, akhirnya disepakati soal proyek e-KTP ini, antara Andi Agustinus alias Andi Narogong, pengusaha rekanan yang biasa mengendalikan proyek dengan Kemendagri dan Komisi II DPR. Hingga akhirnya muncul angka Rp 5,9 triliun‎ untuk pembiayaan proyek e-KTP.

Gamawan sendiri mengaku sudah mengaudit Rancangan Anggaran Dasar (RAD) untuk pengadaan e-KTP pada saat itu. Audit dilakukan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

"Selesai diaudit BPKP itu saya bawa ke KPK, saya presentasikan di KPK lagi. Saran KPK saat itu, coba didampingi LKPP," ujar Gamawan di Gedung KPK, Jakarta.

Menurut dia, sebelum RAD disusun, sudah ada pembahasan‎ bersama di Kantor Wakil Presiden. Hadir dalam pembahasan itu sejumlah stakeholder terkait.

"Pertama rapat itu di tempat Wapres, dibahas. Ada Menkeu, Bappenas, dan menteri-menteri terkait. Lalu saya meminta, kalau bisa jangan Kemendagri yang mengerjakan ini," ujar Gamawan.

Singkatnya, usai RAD disusun dan diaudit BPKP, tender lelang proyek pengadaan E-KTP dilakukan. Proses tender juga didampingi BPKP dan LKPP bersama 15 kementerian lain. "Malah saya tidak ikut. Setelah itu selesai tender, panitia lapor ke kami," ucap Gamawan.

Namun, saat menerima laporan dari panitia lelang, dia ragu. Lalu berkas laporan itu dibawa lagi ke BPKP untuk diaudit.

Setelah diaudit di BPKP‎ selama dua bulan dan sebelum kontrak itu ditandatanganinya, Gamawan membawa lagi berkas tersebut ke aparat penegak hukum‎ seperti KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung.

"Karena Pasal 83 dalam Perpres 54 itu disebutkan, kalau ada KKN, itu kontrak dapat dibatalkan," ujar Gamawan.

Setelah usai semua itu, dia tidak tahu jika proyek pengadaan itu bermasalah, bahkan sampai berujung korupsi dan merugikan negara. "Tiba-tiba, saya dapat kabar ada kerugian Rp 1,1 triliun. Bagaimana saya tahu kalau ada masalah, karena yang saya pegang kan hasil audit, hasil pemeriksaan," ujar Gamawan Fauzi.

Video Terkini