Liputan6.com, Jakarta - Beredarnya spanduk penolakan salat jenazah pembela penista agama jelang Pilkada DKI 2017 putaran kedua ternyata berbuntut panjang. Nenek Hindun, seorang warga Jalan Karet II, Setiabudi, Jakarta Selatan menjadi korban akibat adanya warga yang terprovokasi atas pemasangan spanduk tersebut.
Di akhir masanya di dunia, Nenek Hindun justru dibebani kepentingan politik sejumlah pihak yang ingin menjatuhkan salah satu pasangan calon di Pilkada DKI Jakarta putaran dua. Jenazah Nenek Hindun bin Raisman ditolak disalatkan pihak musala yang dekat dengan kediamannya.
Pihak keluarga menilai penolakan tersebut disebabkan karena Nenek Hindun memilih Calon Gubernur Petahana DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada Pilkada DKI 2017 putaran pertama, 15 Februari 2017 lalu.
Advertisement
Neneng, anak bungsu Nenek Hindun, menceritakan kasus ini bermula ketika Pilkada DKI, ada empat petugas Komisi Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) mendatangi rumah mereka untuk meminta Hindun ikut mencoblos. Namun, karena kondisi fisik Hindun yang ringkih, dia menolak datang ke TPS. Tapi, petugas tetap ingin mengambil suara Hindun.
"Pas pemilihan itu, Mak (Hindun) disuruh nyoblos, ya namanya orang tua sudah enggak tahu apa-apa, nyoblos asal aja. Kebetulan yang dicoblos nomor dua dan dilihat sama empat orang petugas itu," terang Neneng.
Pencoblosan yang disaksikan empat petugas KPPS itu berbuntut panjang. Neneng merasa ada yang salah dengan cara pemungutan suara terhadap ibunya. Namun, saat itu Neneng tak ambil pusing.
"Ya pas nyoblos itu kan terbuka, dilihat orang banyak, saya ragu juga, bukannya nggak boleh dilihat siapapun? Kan rahasia itu pilihan. Tapi, karena Mak sakit, ya sudahlah, kami enggak ambil pusing, pokoknya nyoblos," terang Neneng.
Pencoblosan itu, ternyata jadi malapetaka. Sejak itulah, kata Neneng, keluarganya dan Nenek Hindun dituduh sebagai pendukung penista agama. Keluarga mereka dituduh mendukung Ahok yang kini berstatus terdakwa dalam kasus penistaan agama.
Tanggapan Pihak Musala
Pihak Musala menampik pernyataan keluarga terkait penolakan salat jenazah Nenek Hindun, karena perempuan 73 tahun itu merupakan seorang pemilih Ahok dalam Pilkada DKI 2017 putaran pertama. Menurut Ustaz Ahmad Syafii, ketika itu banyak faktor yang memaksa dirinya terpaksa menyalatkan Nenek Hindun di rumahnya, bukan di musala.
Menurut Syafii, tidak adanya pihak laki-laki dari keluarga Nenek Hindun yang bisa membantu mengangkat jenazah ke musala menjadi faktor utama dirinya harus menyalatkan jenazah Nenek di rumah. Terlebih, mobil jenazah pun terjebak macet. Sementara itu, lanjut dia, pihak makam sudah menghubunginya untuk segera menguburkan jenazah karena sudah sore.
"Jadi, rombongan itu ketahan sama macet, ya memang nggak ada orang, mau salatin di musala gimana? Orang nggak ada, terus tukang gali kubur sudah minta cepet terus," terang Syafii di rumahnya yang persis berada di depan sebuah spanduk penolakan menyalati jenazah pendukung penista agama.
Untuk itu, dia pun mengambil langkah menyalatkan Nenek Hindun di rumah. Syafii mengaku sebagai muslim berkewajiban untuk menyalatkan jenazah muslim lainnya.
"Perkaranya itu bukan karena milih Ahok, bukan nggak disalati, saya yang ngimami, saya yang bantu talqin (melepas arwah orang yang kritis dengan kalimat tauhid) kan 24 jam sebelum Nenek (Hindun) meninggal," ujar dia.
Syafii menyatakan, sebagai wakil muslim dalam menjalankan penyelenggaraan kewajiban terhadap jenazah yang hukumnya fardu kifayah.
"Kalau sudah ada yang nyelenggarain jenazah satu orang aja, berarti semua sudah turut serta. Saya ini wakilnya masyarakat sini buat nyelenggarain jenazah. Sekali pun saya cuma sendirian yang menyalatkan, itu berarti mewakili 40 keluarga di sini, begitu ajaran Islam," terang Syafii.
Â
Advertisement
Ramai-Ramai Dukung Nenek Hindun
Kabar adanya seorang warga DKI Jakarta yang ditolak disalatkan jenazahnya ini mengundang perhatian banyak pihak. Salah satunya, calon Gubernur Petaha DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Dia langsung mendatangi rumah kediaman Nenek Hindun di Jalan Karet II, Setiabudi, Jakarta Selatan.
Tidak hanya dari Ahok, Plt Gubernur DKI Jakarta Sumarsono pun turut angkat bicara terkait kasus ini. Pria yang akrab disapa Soni itu menegaskan, Pemerintah Provinsi akan mengurus jenazah yang ditolak disalatkan. Pemprov akan mengirimkan ambulans untuk mengurus jenazah tersebut, termasuk menyalatkannya.
Sementara itu, lanjut Soni, dirinya juga telah menurunkan spanduk-spanduk porvokatif yang berisi ajakan penolakan salat jenazah pembela penista agama tersebut.
Kasus Nenek Hindun ini juga mengundang tanggapan dari organisasi masyarakat, seperti GP Ansor. Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor Yaqut Cholil Coumas mengatakan, sesama muslim wajib hukumnya menyalatkan jenazah. Untuk itu, pihaknya bersedia mengambil alih menyalatkan jenazah yang ditolak masjid di lingkungannya.
"Jika tidak ada yang mau mensalatkan, biar kami (Ansor) yang mensalatkannya. Sesama umat Muslim masa tidak mau mensalatkan?! Kita instruksi kepada jajaran jika tidak ada masyarakat yang merawat (jenazah), biar kami yang merawat hingga mensalatkan. Kalau perlu sampai melakukan tahlilan selama 40 hari," kata Yaqut.
Ketika Politik Menggores Agama
Banyak pihak yang menyayangkan terjadinya kasus Nenek Hindun, yang jenazahnya ditolak disalatkan di musala dekat rumahnya. Sejumlah pihak menginginkan kasus ini tidak kembali terulang.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pun mengimbau warga DKI Jakarta untuk tidak mencemari Pilkada DKI 2017 dengan menyeret urusan agama. Dia menilai agama seharusnya bisa menjadi pemersatu bukan pemecah belah persatuan.
"Jadi kemampuan saya adalah mengimbau semua pihak untuk bagaimana pilkada tidak dikotori atau dicemari dengan hal-hal yang justru menimbulkan konflik di antara kita dengan alasan agama. Jadi agama harus digunakan untuk hal-hal yang sifatnya promotif, bukan konfrontatif," tegas Lukman.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bidang hukum Robikin Emhas turut berkomentar mengenai kasus Nenek Hindun. Dia menyebutkan seharusnya kewajiban umat Islam untuk mengurus jenazah sesama umat muslim. Mulai dari memandikan, mengafani, menyalatkan, dan menguburkan.
"Hukum mengurusi jenazah muslim dalam fiqih ialah fardhu kifayah. Artinya, kewajiban mengurusi jenazah hilang bila sudah dilakukan oleh sebagian orang, dan dihukumi berdosa seluruhnya bila tidak ada yang mengurusi sama sekali," ungkap Robikin.
Hal senada juga disampaikan juru bicara Front Pembela Islam (FPI) Slamet Maaruf. Menurut dia, umat muslim memiliki kewajiban mengurus jenazah umat muslim lain, termasuk menyalatkannya.
"Kalau dia muslim, apapun pandangan politik dia itu tidak ada urusan, sesama Muslim wajib mengurusnya," tegas Slamet.
Lebih lanjut, Mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra pun turut mengomentari pemasangan spanduk provokatif tersebut. Dia menilai ada yang salah dari isi spanduk itu. Azyumardi menilai, pembuat spanduk salah paham dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Untuk itu, lanjut Azyumardi, hak dan kewajiban umat Islam tidak begitu saja lepas ketika seorang muslim memiliki arah politik tertentu, termasuk dalam mendukung seseorang.
"Jadi kalau soal mendukung secara politik, mendukung si ini si itu, tidak disukai oleh sebagian umat Islam yang lain, itu saya kira tidak boleh (tidak disalatkan jenazahnya)," kata dia.
"Jadi prinsip pokoknya seseorang yang masih beriman, mungkin dia enggak salat, tapi dia masih percaya pada dua kalimat syahadat, ya harus disalatkan," tegas Azyumardi.
Guru Besar Sejarah dan Perdaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menegaskan, jika isi spanduk tersebut benar dilakukan oleh umat muslim, justru tindakan itu memberikan dosa.
"Kalau tidak disalatkan, orang Islam yang lain berdosa. Isi spanduk itu enggak bener. Enggak tahu ajaran tauhid, nggak tahu ajaran akidah," tandas Azyumardi.
Advertisement