Liputan6.com, Jakarta Sidang kedua kasus e-KTP akan kembali digelar di PN Tipikor, Kamis 16 Maret 2017. Dalam sidang megakorupsi itu, KPK akan meyiapkan delapan saksi yang dipastikan bakal membongkar lebih jauh soal korupsi yang disebut merugikan negara Rp 2,3 triliun.
Sidang kedua nanti dinilai dapat mempertajam dan memperjelas soal siapa saja dan peran apa yang dimainkan nama-nama besar yang disebut dalam sidang perdana. Begitu juga soal partai mana saja yang menerima aliran dana proyek e-KTP.
Dalam sidang perdana, jaksa KPK mengatakan ada kesaksian yang menyebutkan, uang proyek pengadaan e-KTP mengucur deras ke tiga partai besar, yaitu Partai Golkar, Partai PDIP, dan Partai Demokrat.
Advertisement
"Ke Partai Demokrat Rp 150 miliar, Partai Golkar Rp ‎150 miliar, PDI Perjuangan Rp 80 miliar, dan partai lainnya Rp 80 milar," kata jaksa KPK Irene Putrie dalam sidang dakwaan Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis 9 Maret 2017.
Selain mengalir ke partai, sejumlah nama besar juga disebut-sebut menerima aliran dana segar proyek e-KTP. Di antaranya Yasonna Laoly yang disebut menerima US$ 84.000; mantan menteri dalam Negeri Gamawan Fauzi, menerima US$ 4,5 juta dan Rp 50 juta; Marzuki Alie yang disebut menerima Rp 20 miliar; dan Setya Novanto yang mendapatkan fee 11 persen atau Rp 574,2 miliar.
Karena namanya disebut dalam dakwaan, mereka pun memberikan klarifikasi. Satu per satu dari nama yang terungkap menampik dan bersumpah bahwa aliran dana itu tidak mengucur ke kantongnya.
Namun, dakwaan itu seolah melawan sumpah terhadap dalih atau pengelakan yang disuarakan nama-nama besar di luar sidang. Padahal dalam berkas kasus yang termuat dalam 23 ribu lembar itu, jaksa melampirkan berita acara pemeriksaan ratusan saksi.
"Demi Allah kepada seluruh Indonesia, bahwa saya tidak pernah menerima apa pun dari e-KTP," kata Setya Novanto dalam acara Rakornis Partai Golkar di Redtop Hotel Jakarta beberapa waktu lalu.
Pria yang akrab disapa Setnov itu juga pasang badan untuk partai berlambang beringin. Dia menegaskan, partainya tidak pernah menerima uang sepeser pun dari proyek e-KTP.
"Sampai hari ini tidak ada satu sen pun uang yang diterima oleh Partai Golkar. Itu bisa dicek di rekening, bisa di cek seluruh bendahara-bendahara yang ada. Tidak ada satu sen pun baik kepada Partai Golkar maupun saya pribadi (menerima uang e-KTP)," tegas Novanto.
Jauh sebelum kasus korupsi e-KTP masuk ke persidangan, mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sudah menantang kesaksian Nazaruddin lewat sumpah pocong. Apalagi saat dirinya dituding menerima imbalan atas pengadaan e-KTP yang dimulai sejak 2011.
"Kalau kata Nazaruddin dana itu ditransfer, saya persilakan untuk cek ke PPATK. Kalau ada yang mengaku menyerahkan langsung uang kepada saya, saya tantang sumpah pocong di bawah sumpah dengan Alquran," kata Gamawan saat itu.
Nama Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga disebut dalam sidang. Yasonna saat itu diketahui menjabat sebagai anggota Komisi II DPR. Bahkan dia pasang badan untuk partainya dengan memastikan tidak ada aliran dana proyek e-KTP ke tubuh Partai Banteng dengan moncong putih itu.
"Sebagai partai oposisi kita tidak ikut cawe-cawe soal e-KTP. Dalam pembahasan program dan anggaran, Fraksi PDIP kritis. Sepanjang mengenai aliran dana saya pastikan saya tidak ikut. Boleh dikonfirmasi, siapa yang memberi? Di mana?" Yasonna menegaskan.
Perlawanan sengit bahkan ditunjukkan mantan Ketua DPR Marzuki Alie yang melaporkan saksi atas kasus dugaan korupsi pengadaan proyek e-KTP, Andi Agustinus alias Andi Narogong ke Bareskrim Polri. Menurut dia, keterangan Andi dalam dakwaan kasus korupsi e-KTP tidak berdasar. Dia menegaskan apa yang diungkapkan Andi omong kosong.
"Ini kan artinya keterangan ini kosong saja. Keterangan ini tidak disadari. Dalam dakwaan itu, Andi Narogong melapor kepada terduga dua bahwa dia akan membagikan uang sebanyak Rp 520 miliar. Kepada terduga dua yang akan dibagikan kepada satu dua tiga termasuk nama saya," ucap Marzuki.
Tak Percaya Sumpah
Penyidik KPK memastikan penyidikan kasus mega korupsi e-KTP akan terus berjalan. Bahkan Ketua KPK Agus Raharjo bergeming mendengar sumpah-sumpah yang disuarakan nama-nama besar. Dia menyebut akan ada tersangka baru dalam kasus e-KTP.
"Sebentar lagi mungkin ada gelar perkara. Sebentar lagi mungkin ada nambah orang (tersangka)," ungkap Agus di kantornya, Jakarta Selatan kemaren lusa.
Dia melanjutkan, uang korupsi yang merugikan negara hampir Rp 2,3 triliun ini tak mungkin dinikmati oleh dua orang saja. Banyak pihak diduga kuat mendapatkan aliran dana proyek tersebut.
"Kalau kerugian negaranya Rp 2,3 Triliun, pasti bukan hanya dua orang (Irman dan Sugiharto) itu yang tanggung jawab," ujar Agus.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarief juga ikut memastikan, akan memproses lebih lanjut nama-nama yang terseret dalam pusaran kasus mega korupsi e-KTP.
"Kita lihat saja, kalau dia (nama yang tersebut di sidang dakwan e-KTP) turut serta tentunya harus di proses. Lihat aja konstruksi dakwaanya kita juga harus melihat dakwaanya. Kalau misalnya dia terima, itu salah satu hal yang harus kita proses lebih lanjut," ujar Laode.
Sidang kasus e-KTP sudah digelar perdana pada Kamis, 9 Maret 2017. Kedua terdakwa, Irman dan Sugiharto didakwa melakukan korupsi secara bersama-sama dalam kasus e-KTP. Irman dan Sugiharto didakwa merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.
Irman merupakan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sementara itu, Sugiharto ialah mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Dukcapil Kemendagri.
Atas perbuatannya dalam kasus e-KTP, Irman dan Sugiharto didakwa melangar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam surat dakwaan kasus E-KTP itu nama sejumlah tokoh lain juga disebut, mulai Anas Urbaningrum, Marzuki Ali, Olly Dondokambey, Melchias Marchus Mekeng, Mirwan Amir, Tamsil Linrung, dan Taufik Effendi. Kemudian, Teguh Juwarno, Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Arief Wibowo, Mustoko Weni, Rindoko, Jazuli Juwaeni, dan Agun Gunanjar.
Ada pula nama Ignatius Mulyono, Maryam S Haryani, Nu'man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramain, Jamal Aziz, Markus Nari, Yasonna Laoly, dan 37 anggota Komisi II DPR lain.
Jaksa KPK juga menduga kasus e-KTP ini memperkaya korporasi yakni, Perusahaan Umum Percetakan Negara (Perum PNRI), PT Len Industri, Pt Quadra Solution, PT Sandipala Artha Putra, PT Sucofindo dan Managemen Bersama Konsorsium PNRI.
Advertisement