Liputan6.com, Jakarta - Sebuah nama menarik perhatian dalam dakwaan kasus e-KTP. Politikus itu disebut menerima uang US$ 400 ribu. Uang tersebut diberikan di ruang kerjanya di DPR sekitar September-Oktober 2010. Dia adalah Mustokoweni.
Pada waktu dan tempat yang sama, pengusaha rekanan Kementerian Dalam Negeri, Andi Agustinus alias Andi Narogong juga membagi uang ke sejumlah anggota DPR.
Namun, Mustokoweni telah meninggal tiga bulan sebelum penerimaan tersebut. Anggota Komisi II DPR itu meninggal di Rumah Sakit Elisabeth pada 18 Juni 2010.
Advertisement
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah, mengaku bisa membuktikan dakwaan kasus e-KTP itu. Dia mengatakan dakwaan tersebut dikerjakan sesuai dengan bukti yang telah dimiliki penyidik.
"Bahwa dakwaan sudah dipaparkan‎ di muka persidangan, dan akan dibuktikan di persidangan juga," ujarnya ketika dikonfirmasi wartawan di kantornya, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa 14 Maret 2017.
Dia mengatakan, dakwaan yang sudah dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK pada Kamis 9 Maret 2017, sudah sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi saat awal proses pengadaan e-KTP.
"Memang ada beberapa saksi yang saat ini sudah meninggal dunia, tentu itu tidak bisa dimintai keterangan dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban lagi. Kalau ada saksi yang tidak bisa dimintai keterangan lagi, tentu KPK punya alternatif bukti lain untuk tetap bisa menangani perkara ini secara maksimal," kata Febri.‎
Lalu, apakah ada kekeliruan dalam dakwaan kasus e-KTP tersebut terkait aliran dana ke Mustokoweni?
‎
"Nanti kan bisa dikonfirmasi kepada saksi-saksi yang akan dihadirkan untuk membuktikan‎ dakwaan itu. Tentu nanti jaksa dan hakim bisa melihat mana yang terkonfirmasi dan yang tidak. Tetapi KPK yakin jaksa penuntut umum dapat membuktikan dakwaan kepada para terdakwa ini," kata Febri.
Selain poin Mustokoweni, ada sejumlah saksi yang belum diperiksa dalam kasus e-KTP ini, tapi sudah masuk dalam BAP. Misalkan mantan Ketua DPR Marzuki Alie. Dia mengaku belum pernah diperiksa KPK. Namun, KPK menjelaskan pihaknya melalui JPU bisa mengajukan saksi di pengadilan.
Tumpuan Harapan
KPK mengungkap ada puluhan orang yang terkait kasus e-KTP. Sejumlah pihak menumpukan harapan ke KPK untuk mengungkap kasus megakorupsi ini.
Kader muda Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia, meminta KPK tidak mundur dalam mengungkap kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan KTP elektronik, yang diduga melibatkan nama-nama besar.
"Saya kira KPK tidak perlu mundur dan surut, justru seharusnya bergeming terhadap bantahan yang dilakukan oleh para pimpinan dan anggota DPR, yang disebut-sebut namanya di dalam dakwaan yang dibacakan JPU, terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP elektronik," kata Doli Kurnia di Jakarta, seperti dilansir Antara, Senin 13 Maret 2017.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), Boyamin Saiman, mengapresiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berani mengungkap kasus ini. Terlebih, kata dia, kasus ini melibatkan orang dengan kedudukan tinggi dan jumlah uang yang besar.
Dia berharap KPK segera menerbitkan surat perintah penyidikan untuk nama-nama besar yang diduga terlibat.
"KPK ibaratnya kan makan bubur panas, tapi jangan sampai dingin dan malah membusuk, jangan lama-lama. Setelah dakwaan dibacakan surat perintah penyidikan segera diterbitkan terhadap nama-nama yang diduga terlibat, jangan sampai menunggu putusan," ujar Boyamin saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Senin 6 Maret 2017 malam.
Advertisement
Pembuktian Nyanyian Nazaruddin
Nyanyian soal kasus e-KTP tersebut disenandungkan M Nazaruddin pada Selasa 26 September 2016. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat tersebut baru saja selesai menjalani pemeriksaan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat itu.
Dia mengungkap mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi terlibat kasus e-KTP. Dia mengatakan, Gamawan sewaktu masih menjabat Mendagri, turut menerima gratifikasi terkait proyek e-KTP.
"Sekarang yang pasti e-KTP sudah ditangani oleh KPK. Kita harus percaya dengan KPK. Yang pasti Mendagrinya waktu itu (Gamawan Fauzi) harus tersangka," ucap Nazaruddin di Gedung KPK, Jakarta, Selasa, 26 September 2016.
KPK kembali memeriksanya pada 18 Oktober 2016. Hasrat Nazaruddin pun semakin tak terbendung untuk mengungkap korupsi proyek pengadaan e-KTP tahun 2011-2012 ini ke publik.
Usai menjalani pemeriksaan, Nazaruddin kembali 'bernyanyi' soal kasus tersebut. Terutama pihak-pihak yang diduga turut menerima‎ aliran dana korupsi e-KTP ini. Mereka yang disebut Nazaruddin, yakni mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan mantan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Djafar Hafsah.
"(Aliran dananya) itu ke Mendagri waktu itu (Gamawan Fauzi), Dirjen ‎Dukcapil waktu itu (Irman), ke Menkeunya waktu itu (Agus Marto), dan Djafar Hafsah," ucap Nazaruddin di Gedung KPK, Jakarta, Selasa 18 Oktober 2016.
Sebelum pemeriksaan-pemeriksaan itu, M Nazaruddin kerap menyebut nama pejabat yang diduga turut terlibat dan menerima aliran dana dari korupsi proyek e-KTP.
Dia pernah menyebut Ketua DPR Setya Novanto. Kemudian nama Gubernur Jawa Tengah yang dulu duduk di Komisi II DPR Ganjar Pranowo.
Sebelumnya, dua mantan anak buah Gamawan Fawzi, yakni Irman dan Sugiharto didakwa melakukan korupsi secara bersama-sama dalam proyek e-KTP. Irman dan Sugiharto didakwa merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.
Irman merupakan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sementara itu, Sugiharto ialah mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Dukcapil Kemendagri.
Atas perbuatannya itu, Irman dan Sugiharto didakwa melangar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam dakwaan disebutkan nama-nama besar yang diduga ikut menikmati aliran dana megaproyek senilai Rp 5,9 triliun. Mereka adalah Anas Urbaningrum, Melcias Marchus Mekeng, Olly Dondokambey, Tamsil Linrung, Mirwan Amir, Arief Wibowo, Chaeruman Harahap, Ganjar Pranowo, Agun Gunandjar, Mustoko Weni, Ignatius Mulyono, Taufik Effendi, Teguh Djuwarno, Miryam S Haryani.
Kemudian, Nu'man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz, dan Jazuli Juwaini, Markus Nari, Yasonna H Laoly, Khatibul Umam Wiranu, M. Jafar Hafsah, Ade Komarudin, Marzuki Ali, dan 37 anggota Komisi II lainnya juga disebut terima aliran dana dalam kasus e-KTP.