Sukses

KPK Minta DPR Pertimbangkan Keinginan Gulirkan Hak Angket E-KTP

KPK khawatir penggunaan hak angket akan menghambat kasus e-KTP.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta para anggota DPR RI untuk mempertimbangkan hak angket yang akan digulirkan terkait kasus e-KTP.

"Proses hukum sebaiknya dipisahkan dari politik, karena berisiko menghambat. Baiknya dipertimbangkan kembali untuk hak angket," ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Rabu (15/3/2017).

Febri mengatakan, penuntasan perkara e-KTP ini bukan semata-mata kepentingan lembaga antirasuah. Melainkan demi kepentingan masyarakat dan pengembalian uang negara yang dirugikan hingga Rp 2,3 triliun.

"Kerugian keuangan negara Rp 2,3 triliun itu bukan kepentingan KPK saja, tapi masyarakat Indonesia yang dirugikan," kata Febri.

Meski begitu, Febri mengaku tak bisa melarang para anggota legislatif untuk menggulirkan hak angket. Febri juga mengatakan, pihaknya akan tetap mengusut perkara ini hingga tuntas.

Terlebih, lembaga yang dipimpin oleh Agus Rahardjo ini mendapat dukungan dari pimpinan MPR, Presiden dan rakyat untuk menyeret nama-nama besar di legislatif dan eksekutif yang diduga menikmati duit haram kasus e-KTP ini.

"KPK akan bekerja sesuai kewenangan KPK. Kami akan jalani terus proses hukum kasus ini," Febri memaparkan.

Diketahui, dua mantan anak buah Gamawan Fauzi, yakni Irman dan Sugiharto didakwa korupsi secara bersama-sama dalam proyek e-KTP. Irman dan Sugiharto didakwa merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.

Irman merupakan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sementara itu, Sugiharto ialah mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Dukcapil Kemendagri.

Dalam kasus e-KTP, Irman dan Sugiharto didakwa melangar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Dalam dakwaan disebutkan nama-nama anggota DPR yang diduga ikut menikmati aliran dana megaproyek senilai Rp 5,9 triliun itu.